Sabtu, 27 Juli 2013

TUHAN DAN BENCANA REPLEKSI DAN RESPON TEOLOGIS MUSLIM TRADISIONALIS TERHADAP BENCANA BANJIR DI DESA SARANG BURUNG KABUPATEN MUARO JAMBI

Bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang 2009 hingga 2010 didominasi akibat banjir dengan prosentase sebanyak 60 persen disusul oleh longsor, gempa bumi dan tsunami , Banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan sungai. Di banyak daerah yang gersang di dunia, tanahnya mempunyai daya serapan air yang buruk, atau jumlah curah hujan melebihi kemampuan tanah untuk menyerap air. Ketika hujan turun, yang kadang terjadi adalah banjir secara tiba-tiba yang diakibatkan terisinya saluran air kering dengan air. Banjir semacam ini disebut banjir bandang . Kini Banjir tidak hanya menjadi langganan tahunan bagi masyarakat yang hidup di daerah aliran sungai batang hari, pada bulan januari banjir melanda Provinsi jambi dengan menengelamkan rumah sebanyak 5.864 rumah di Kota Jambi dan tergenang air akibat banjir yang melanda Kota Jambi selama dua pekan pada awal tahun 2010, terutama rumah warga yang berada di bantaran sungai Batanghari . Dari kenyataan di atas, maka jelaslah bahwa dalam tinjauan sosiologis, sejumlah bencana yang menimpa bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari sikap serta tingkah laku individu-individu masyarakat negeri ini. Selagi individu-individu masyarakat negeri ini tidak mengubah sikap serta tingkah lakunya menuju arah yang lebih baik, maka sejumlah musibah lainnya siap menanti kita. Bukankah segala kerusakan di langit dan di bumi terjadi akibat kelalaian manusia itu sendiri? Sebuah refleksi cultural masa lalu, dimana Orang tua kita sering kali melarang dengan dogmatisasi ‘pamali’ melakukan aktivitas membawa dan mencuci peralatan dapur di sungai. Pesannya, bahwa “penjaga sungai akan marah bahkan bisa mencelakaimu”. Sepintas dengan nalar seorang anak yang masih kecil, mempercayainya dan ikut mewariskan pesan itu kepada generasinya. Ini merupakan cara moyang kita mengapresiasi dan menjaga kelestarian dan kelangsungan hidup ekosistem dan seluruh elemen yang berkepentingan pada sungai. Sisa makanan dan minuman yang melengket pada peralatan dapur dikhawatirkan dapat meracuni mahluk hidup di sungai dan akan mengotori kebersihan air sungai. Pesan tersebut seharusnya mensugesti cara pandang di masa kini, bahwa jika sisa makanan dan minuman saja tidak diperbolehkan mengotori sungai, seharusnya pembabatan hutan dan penumpukan sampah di hulu dan hilir tidak dilakukan. Karena secara perlahan tapi pasti dapat menimbulkan ketidak-seimbangan kehidupan manusia itu sendiri. Selain itu fungsi agama membantu manusia dalam kebingungan dunia dan menawarkan jawaban tentang berbagai permasalahan, juga memberikan kekuatan moral . Agama sebagai tempat pelibur lara dan tempat berkeluh kesah dalam kesulitan hidup. Sehingga dalam menghadapi Bencana agama menempatkan posisinya di garda depan, namun dalam kenyataan agama juga dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk melegitimasi bahwa bencana adalah kehendak tuhan, sikap fatalistik yang kemudian digerakkan untuk menjustifikasi kebenaran yang subjektif kekuasaan. Dalam tinjauan teologis as’ariyah difahami selain Tuhan, semua sesuatu itu adalah mahluk. Bencana adalah mahluk Tuhan, sehingga amarah terhadap bencana indentik dengan menghindari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Dalam pandangan sufistik, kehadiran musibah, penganiayaan atau kematian, justru disikapi dengan ungkapan alhamdulillah, dilanjutkan dengan innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Memuji kebesaran dan kekuasaan Tuhan atas segala sesuatu, bahwa DIAlah yang paling berhak atas semuanya ini. Segalanya dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Bersabar dan ikhlas menerima segala ketentuan Tuhan termasuk bencana, di sisi lain dianggap sebagai salah satu cara Tuhan meningkatkan dan mengangkat derajat kemanusiaan di hadapan Tuhan . Bahkan bencana atau musibah yang menimpa umat manusia adalah kehendak mutlak Tuhan, yang sering disebut dengan istilah takdir. Memang, kata ‘takdir’ seringkali diasosiasikan dengan nada sumir, pejoratif dengan konotasi negatif. Pada hakekatnya, harus disadari bahwa Tuhan tidak akan pernah berbuat aniaya terhadap hamba-Nya. Hal ini ditegaskan dalam sejumlah firman-Nya. Semua yang terjadi dan menimpa manusia merupakan akibat dari ulah manusia sendiri. Inilah yang kemudian disebut dengan ‘hukum alam’, atau dalam bahasa agama dikenal dengan istilah ‘sunnatullah’. Dan Tuhan hanya menjalankan hukum alam tersebut. Di sinilah, ada ruang ikhtiar (baca: usaha) manusia untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya suatu bencana . Tak dapat dipungkiri memang, Tuhan punya hukum-Nya sendiri. Tetapi, seperti ditegaskan dalam sejumlah referensi agama, manusia diberikan ruang gerak untuk mengubah kehidupannya. Untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, menghindari kemungkinan terjadinya bencana, dan mengantisipasi hal terburuk yang mungkin menimpanya. Dalam realitas sosial, munculnya sejumlah bencana tidak bisa dipisahkan dari sikap serta tingkah laku individu-individu dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, serangkaian bencana alam seperti banjir, tanah longsor, serta semburan lumpur panas, menunjukkan kecerobohan individu-individu terkait dalam serangkaian peristiwa tersebut. Sejarah perkembangan peradaban manusia pada mulanya memiliki sikap dan kepercayaan akan ketertundukan dan ketergantungannya pada alam. Para arkeolog dan filolog (peneliti teks-teks kuno) menunjukkan bahwa manusia sangat takut dan begitu memuliakan alam. Bahkan sebagian diantaranya rela dijadikan sebagai persembahan (dibunuh) dengan tujuan agar alam tidak marah dan kehidupannya tetap bisa berjalan normal. Ritual ini dilakukan ketika terjadi bencana seperti gunung meletus, banjir, hasil tanamannya rusak dan lain sebagainya. Sistem kepercayaan seperti ini disebut animisme atau dinamisme. Sebuah kepercayaan yang menjadikan unsur-unsur alam sebagai ‘Tuhan’. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, peradaban kita terjebak pada cara pandang yang materialis pragmatis . Pada tataran tertentu bencana banjir yang telah seringkali menimpa provinisi jambi, dengan korban jiwa dan material yang tak terhitung jumlahnya, tidak selamanya harus diratapi apalagi menjadi manusia fatalistik, akan tetapi bencana banjir pun mampu menjadi media untuk meningkatkan proses pengenalan dan kesepahaman dengan Tuhan. Namun masalahnya, dampak yang ditimbulkan oleh bencana banjir, tidak serta merta selesai dengan sikap mengembalikannya pada Tuhan. Namun berlanjut pada sikap menggugat Tuhan atas bencana banjir yang mereka alami, varian teologis yang bagi amsyarakat pedesaan dan daerah aliran sungai yang secara budaya merupakan muslim tradisionalis dan mata pencaharian mereka bercocok tanam padi dan palawija di pinggrian sungai dan secara historis merupakan tradisi nenek moyang mereka. Lahan tersebut sebagai tanah wilayat yang turun temurun diwarisi oleh nenek moyang mereka. Melakukaknnya dengan bantuan irigasi sederhana dan sebahagian lagi adalah masyarakat yang membudidayakan ikan air tawar dengan media keramba terapung, jika saat banjir tiba keramba akan ditarik ke tepi secara bergotong royong dan jika air telah kembali normal mereka pun bersama-sama melaut keramba tersebut, hal ini yang sering kali meraka rasakan dalam setahun ini. Akibatnya Berbeda dengan kebanyakan faham teologi yang dianut oleh masyarakat muslim sunni, banjir seringkali terjadi dalam 2 tahun belakangan di kabupaten muaro Jambi, sehingga memberikan wacana tentang teologi yang berbeda, sikap non fatalitik muncul dan tidak dapat terbendung, ekpresi bencana banjir tersebut tidak hanya dipresentasikan melalui sikap namun juga telah mengarah pada ucapan-ucapan non fatalistic. Ucapan-ucapan non fatalistic tersebut merupakan respon teologis dalam memaknai Tuhan pemberi bencana, tanpa melihat siapa korbanya, sehingga menggugat sifat-sifat ketuhanan sebagai ekpresi kecewa terhadap bencana yang dtimpakan oleh Tuhan. Muaro Jambi secara historis adalah masyarakat melayu muslim yang menjunjung adat dan budaya, yang bercerminkan pada pepatah adat yang saat ini tetap diyakini dan diamalkan. Pepatah yang mengatakan adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah, yang kemudian mengrepleksi respon teologis yang selama ini difahami dari kitabullah bahwa bencana adalah merupakan ujian, cobaan dan azab Tuhan kepada manusia yang ingkar.

GAYA HIDUP SEBAGAI MOTIVASI RELIGIUSITAS

Kenyataan pengaruh globalisasi dan pascamodernisme di masyarakat hari disebabkan dunia barat yang mulai tergeser dan runtuhnya klasifikasi barat sebagai tanda-tanda pascamodernisme yang didukung penampilan dan status budaya pop terakselisasi oleh media eletronik hingga tidak ada pembeda budaya rendah, budaya tinggi, batas-batas estetika, kebudayaan dan perdagangan yang menghasilkan estetisasi secara umum dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidup (life style) tidak hanya menjadi bagian dari pengalaman umum kontemporer namun juga sebagai central utama dari budaya konsumen kontemporer. Gaya hidup (life style) dan modernitas sebagai pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain, kemudian diartikan sebagai cara hidup seseorang atau kelompok orang, seperti tempat hidup, barang-barang yang mereka miliki, pekerjaan mereka, aktivitas yang menyenangkan bagi mereka. Cara hidup seseorang atau sekelompok orang itu bermacam-macam bagi masyarakat tradisional mereka memiliki kehidupan yang natural, teratur, dengan tidak terkebiri sebagaimana masyarakat modern. Gaya hidup (lifestyle) dan modernitas bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang berubah tergantung keinginan seseorang. Istilah gaya hidup pada awalnya dibuat oleh psikolog Austria, Alfred Adler, pada 1929. Pengertiannya yang lebih luas, sebagaimana dipahami pada hari ini, mulai digunakan sejak 1961. Gaya hidup sebagai konsep sering dianggap sebagai pilihan bebas sebagaimana konsumen barang-barang, layanan-layanan, dan praktek-praktek yang dikontruksikan dengan ide kebebasan pilihan di dalamnya. Gaya hidup sebagai cara ketika identitas-identitas seseorang dimediasi dengan teori yang signifikan dari gaya hidup (life style), sebagai kajian sosiologi atau kajian budaya (cultural studies) gaya hidup sering berhubungan dengan sosial, ekonomi dan perubahan-perubahan budaya. Secara bahasa kata Style (gaya) berasal dari bahasa latin, stilus, yang berarti peralatan menulis, dengan gaya yang dimaksudkan adalah bentuk konstan dan terkadang berbagai elemen, kualitas dan expresi konstan dalam seni individual atau kelompok di atas semuanya, gaya adalah system bentuk …deskripsi gaya merujuk kepada tiga aspek seni: motif atau elemen bentuk, berbagai hubungan bentuk dan kualitas (termasuk seluruh kualitas yang disebut ekpresi). Dalam budaya konsumen kontemporer, gaya hidup dikonotasikan dengan individualitas, expresi diri, kesadaran diri yang stilistik, Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan, minuman, rumah, kendaraaan, pilihan liburan, dan seterusnya dipandang sebagai indicator dari individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik atau konsumen. Sedangkan Sobel bahwa gaya hidup adalah setiap cara kehidupan yang khas, dan karena itu dapat dikenali. Menyebut perilaku konsumtif sebagai struktur tradisional masyarakat telah terkikis dengan perubahan struktur tersebut dan berganti dengan pilihan imperative sebagai dasar budaya konsumen yang distintive dan menjadi praktek identitas gaya hidup konsumtif. Gaya hidup memberikan kontribusi teoritik pada studi kelas menengah yang lahir disebabkan oleh kehadiran tata produksi kapitalisme sebagai tata produksi dominan dan mendapatkan hak-hak istimewa yang diproduksi oleh kelas dominan yang bukan lagi sebagai agen perubahan. Nikolai Tilkidjiev memberikan klasifikasi kelas menegah yang bercirikan pada tiga perbedaan yaitu ekonomi (harta), organisasi (kekuasaan) dan budaya (pendidikan, kualifikasi, keahlian). Klasifikasi ini tidak sebebas dari persoalan pilihan gaya karena klasifikasi tersebut telah bercampur baur dan terkadang dipakai bergantian dalam gaya hidup. Gaya hidup ditawarkan lewat iklan, misalnya cenderung lebih beragam dan bebas mengambang sehingga tidak lagi dibatasi milik kelas menengah tertentu tapi telah menjadi central yang mudah ditiru, dijiplak dan dipakai sesuka hati oleh setiap orang. Dalam kajian budaya perkotaan, Irwan Abdullah, kota dengan consumer space diperuntukan bagi kelas menenengah baru sebagai tanda transformasi sosial perkotaaan dengan proses konsumsi simbolis dan transformasi estetis. Proses konsumsi simbolis sebagai tanda penting dari pembentukan gaya hidup yang simbol konsumsi lebih ditekankan dari pada fungsi dan utilitas komoditas yang dikonsumsi yang dimaksud agama sebagai komodivikasi gaya hidup. Gaya hidup konsumtif juga telah memelihara keberlangsungan dominasi ideologi kapitalis seperti citra-citra kebahagian matrealisme, menjadi manusia modern, dll. Yang dikontruksikan dengan berbagai alat dan jaringan komunikasi yang menglobal ke seluruh dunia, termasuk indonesia. Kemudian terjadilah transformasi sosial yang luas yang belum pernah dibayangkan. Transformasi sosial itu juga berdampak pada transformasi perilaku sosial keagamaan yang sejatinya agama merupakan pondasi dan tuntunan hidup (way of life) yang akan membawa manusia pada kehidupannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral yang terlihat dari perilaku kehidupannya. Sehingga gaya hidup dewasa ini bukan lagi komoditi orang-orang berduit, kelas menengah, selebritis dan orang sukses karena persoalan gaya hidup tidak sesederhana seperti halnya potret kehidupan mereka. Banyak juga orang-orang miskin yang mencomot dan mengunakan gaya hidup tertentu. Karena pilihan gaya bukan saja karena uang dan perilaku konsumsi namun lebih pada pilihan gaya. Seperti halnya bersepeda menjadi life style dalam olah raga, hal ini bukan melulu persoalan mengikuti kampanye penghematan energi ataupun global warming tetapi karena pilihan gaya. Soal cita rasa dan gaya hidup tidak lagi memiliki batas strata sosial. Namun telah menjadi lintas kelas dalam struktur masyarakat. Namun dalam kenyataan persemaian keindahan, kebahagian, kesuksesan seseorang dewasa ini diukur dengan bagaimana dan apa yang mereka konsumsi sebagai gaya yang menandakan diri mereka. Persemaian keindahan, kebahagian, kesuksesan seseorang dalam proses konsumsi simbolis cenderung menegaskan aspek estetisasi dalam kehidupan kelas menengah, kecenderungan ini dapat dilihat dari tiga proses. Pertama, hidup di perkotaan telah menjadi suatu proses seni yang bertumpu pada the work art dengan penegasan nilai-nilai khusus di mana penambahan gaya pada tiap bidang penampilan dan kebiasaan merupakan cara untuk menyesuaikan diri. Seperti perilaku makan dan rekreasi sebagai bagian dari proses estetis dengan penekanan pada simbol nilai dari pada nilai kegunaan dan mendorong redefenisi etika dalam kehidupan kolektif. Dalam artikelnya, "A Social Critique of Radio Music" (1945), Theodor W Adorno, salah seorang tokoh Mazhab Frankfurt, mengajukan beberapa aksioma yang penting menandai lahirnya apa yang disebutnya "masyarakat komoditas" (commodity society) yang di dalamnya kebudayaan pop menampakkan perkembangan luar biasa. Kalau hal ini kita kaitkan dengan fenomena "masyarakat komoditas" Indonesia, barangkali dengan dukungan industri kebudayaan untuk publik massa baru yang ditandai menjamurnya penerbitan majalah populer, televisi swasta, perumahan mewah, kawasan wisata, pusat hiburan, dan perbelanjaan modern seperti mall atau berbagai macam industri hiburan lainnya, maka aksioma yang diajukan Adorno berikut bermanfaat untuk disimak. Pertama, masyarakat komoditas adalah masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tapi demi profit atau keuntungan. Dalam pandangan Adorno, di dalam masyarakat komoditas, kebutuhan manusia terpuaskan hanya secara insidental. Kondisi produksi yang mendasar ini lantas mempengaruhi tidak hanya bentuk dari suatu produk, tapi juga hubungan antarmanusia. Kedua, Dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan itu menurut Adorno, akan benar-benar terjadi teristimewa terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus-menerus, sebagai kecenderungan umum dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi dari relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka semai sendiri. Keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas--menggunakan istilah Adorno - "sarat dengan antagonisme" (full of antagonisms). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada "wilayah ekonomi" (economic sphere) seperti yang sudah umum diakui, tapijuga mendominasi hingga ke "wilayah budaya" (cultural sphere) yang masih sulit diterima orang kebanyakan. Sebagai fakta dalam ritual keagamaan disubversi untuk kampanye dan iklan komoditas-komoditas dimotivasi ekpresi diri, sejatinya ritual agama dan kegiatan seremoni memberikan pengalaman terhadap pengamalan nilai-nilai agama bagi kehidupan manusia baik orang perorang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat, selain itu agama juga telah terkikis untuk memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari. Kemajuan ekonomi seperti yang terjadi dewasa ini dan kebutuhan psikologis yang dibutuhkan umat beragama dilihat dari aspek kemanusian sebagai mana manusia yang mengagungkan kesenangan dan kebahagian dalam setiap perilaku dan tindakan konsumsi mereka dalam mencapai maslahah, kebahagian dan prinsip-prinsip kebahagian (principle of utility) sebagaimana Jeremy Betham dan john’s mill. Kemudian agama yang biasanya meresepkan pengikut mereka untuk menampilkan perilaku yang berbeda dalam konsumsi, produksi, dan pertukaran. Meskipun beberapa pengikut agama tidak dapat mengamati perilaku yang ditentukan secara tegas dan mungkin ada beberapa nonreligius individu yang mungkin juga akan menampilkan pola yang sama, bahwa semua pengikut biasanya mengamati pola yang sama tetapi dengan berbagai tingkat kepatuhan tetap menunjukkan sumber perilaku komitmen yang berasal dari keyakinan agama. Sebagai contoh maraknya popularitas busana muslim di kalangan perempuan kelas menegah atas perkotaan terjadi paling kurang pertengahan tahun 1980-an. Berdasarkan penelitian Brenner menjelaskan perempuan-perempuan ini adalah objek dari penindasan ekternal dan bahwa pilihan mereka adalah dampak dari sebuah sistem yang didominasi oleh lelaki, namun kemudian brenner menunjukkan pilihan tersebut terjadi merupakan bagian dari proses penyadaran diri (self awarenness) dan rekontruksi diri sosial (social self-recontruction). Jilbab secara tradisional mengandung makna religiusitas (keberagamaan) seseorang perempuan, namun kini jilbab telah menjelma pada fashion (fashionabel) yang terjebak pada ekpresi diri dan ekpektasi tradisional tadi. Seharusnya agama merupakan sebuah sistem kepercayaan (belief system) dan menjadi acuan moral bagi tindakan manusia, Akan tetapi, tidak ada definisi (agama) yang benar-benar memuaskan. Light, Keller dan Calhoun memilih untuk memusatkan perhatian pada unsur dasar yang dijumpai pada agama, yaitu: Pertama, kepercayaan agama. Kedua, simbol agama. Ketiga, praktik agama (seperti berdoa, bersembahyang, berpuasa dan sebagainya). Dari praktik disini nampak bahwa disamping mengamati banyaknya orang yang menjadi umat suatu agama, maka dalam mempelajari agama kita perlu pula memperhatikan tingkat ketaatan beragama. Keempat, umat agama. Kelima, pengamalan keagamaan. Menelaah lebih lanjut mengenai fungsinya, agama sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan serta pemeliharaan masyarakat, artinya bahwa dalam mengatur kehidupan sosial agama memiliki kekuatan untuk memaksa dan mengikat masyarakat untuk mau mengorbankan kepentingan kepentingan pribadinya demi kepentingan bersama. Di lain pihak, agamapun berperan dalam membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh dengan cara memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam memberikan pengukuhan nilai-nilai, agama memiliki kerangka acuan yang bersumber dari kekuatan adat yang bersifat absolut, karena di satu sisi masyarakat memiliki tujuan-tujuan dan berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan tepenting dari kehidupan sosial mereka. Tetapi di sisi-sisi lain mereka harus bisa menyesuaikan dengan nilai-nilai tersebut. Karena bagaimanapun juga nilai-nilai tersebut merupakan standar tingkah laku yang ideal yang membentuk nilai-nilai sosial yang sering dalam sosiologi disebut sebagai nilai-nilai sosial. Agama selain mempunyai peranan dalam masyarakat sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat dan melestarikan, namun ia juga memiliki tanggung jawab untuk meluruskan kaidah-kaidah yang buruk serta penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh umat manusia di muka bumi ini. Disamping itu, agamapun berfungsi untuk memberikan penyelamatan bagi laki-laki dan perempuan dan khususnya penyelamatan identitas personal atau jiwa yang melampaui kematian biologis. Gaya hidup konsumtif sebagai motivasi religiusitas, di mana gaya hidup, way of life, atau stylisasi konsumsi bertemu pada satu tujuan hakiki yaitu kebahagian (falah). Prinsip kebahagian dari jeremi Betham dan konsep maslahah dari As-shatibi dimodifikasi untuk menjelaskan penomena tindakan-tindakan religiusitas yang dimotivasi oleh gaya hidup.

Senin, 06 Februari 2012

KONSEP UANG DAN KEBIJAKAN MONETER DALAM EKONOMI ISLAM

KONSEP UANG DAN KEBIJAKAN MONETER DALAM EKONOMI ISLAM

PENDAHULUAN

Keadilan sosio ekonomi, salah satu sisi yang paling menonjol dari suatu masyarakat Islam yang diharapkan menjadi suatu jalan hidup (way of life) dan bukan sebagai fenomena yang terisolasi, semangat ini harus menembus seluruh interaksi manusia, sosial, ekonomi, dan politik.
Ketidakadilan di suatu daerah telah tersebar ke daerah, satu lembaga yang salah tidak mungkin bisa mempengaruhi yang lain, bahkan dibidang bisnis dan ekonomi, semua nilai harus bergerak kearah keadilan sehingga secara keseluruhan mendukung bukan melemahkan apalagi menghilangkan, keadilan sosio ekonomi.
Di antara ajaran Islam yang paling penting untuk menegakkan keadilan dan membatasi eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah pelarangan semua bentuk upaya “memperkaya diri secara tidak sah (aql amwal al-nas bi al-batil) Al-qur’an dengan tegas memerintahkan kaum muslimin untuk tidak saling berebut harta secara batil atau dengan cara yang tidak dapat dibenarkan, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi:
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِاْلإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ {البقرة: 188}
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”


Oleh karena itu, pemakalah tertarik untuk mengupas lebih dalam mengenai pandangan Islam mengenai uang dan kebijakan moneter dalam rangka menjaga keadilan, ketentraman, dan keharmonisan sosio-ekonomi masyarakat. Hal ini sekaligus diharapkan memberikan jawaban atas keruwetan yang dimiliki konsep-konsep ekonomi konvensional bahwa ada satu sistem ekonomi yang menguntungkan, adil dan menentramkan, yaitu konsep Ekonomi Islam.

BAB II
KONSEP UANG DAN KEBIJAKAN MONETER
DALAM EKONOMI ISLAM


A. PERANAN UANG DALAM EKONOMI
1. Uang
Dalam ekonomi, uang di definisikan sebagai “anything that is generally accepted as a medium of exchange” atau segala sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat bantu dalam pertukaran. Secara hukum, uang adalah sesuatu yang dirumuskan oleh undang-undang sebagai uang. Jadi segala sesuatu dapat diterima sebagai uang jika ada aturan atau hukum yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dapat digunakan sebagai alat tukar.

2. Fungsi Uang
Uang pada dasarnya berfungsi sebagai alat transaksi yang berguna sebagai refleksi dari nilai sebuah barang atau jasa. Berikut ini adalah fungsi uang berdasarkan pandangan konvensional:
a. Fungsi utama uang dalam teori ekonomi konvensional adalah :
1) Sebagai alat tukar (medium of exchange) uang dapat digunakan sebagai alat untuk mempermudah pertukaran.
2) Sebagai alat kesatuan hitung (unit of Account) untuk menentukan nilai/ harga sejenis barang dan sebagai perbandingan harga satu barang dengan barang lain.
3) Sebagai alat penyimpan/penimbun kekayaan (Store of Value) dapat dalam bentuk uang atau barang.

3. Teori Perilaku Uang
Ada beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan prilaku uang dalam ekonomi konvensional , antara lain:
a. Teori Moneter Klasik. Teori permintaan uang klasik tercermin dalam teori kuantitas uang (MV = PT). Keberadaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga, tetapi ditentukan oleh kecepatan perputaran uang tersebut.
b. Teori Keynes. Menurut Keynes, motif seseorang untuk memegang uang ada tiga tujuan yaitu: Transaction motive, Precautionary motive (keperluan berjaga-jaga) dan Speculative motive. Motif transaksi dan berjaga-jaga ditentukan oleh tingkat pendapatan, sedangkan motif spekulasi ditentukan oleh tingkat suku bunga.
c. Konsep Time Value of Money. Dua hal yang menjadi alasan munculnya konsep ini adalah : presence of inflation dan preference present consumption to future consumption.

4. Teori Economic Value Of Time Vs Time Value Of Money
Teori konvensional meyakini bahwa uang saat ini lebih bernilai dibanding uang di masa depan (time value of money). Teori ini berangkat dari pemahaman bahwa uang adalah sesuatu yang sangat berharga dan dapat berkembang dalam suatu waktu tertentu. Dengan memegang uang orang dihadapkan pada risiko berkurangnya nilai uang akibat inflasi. Sedangkan jika menyimpan uang dalam bentuk surat berharga, pemilik uang akan mendapatkan bunga yang diperkirakan diatas inflasi yang terjadi. Teori time value of money ini tampak tidak akurat, karena setiap investasi selalu mempunyai kemungkinan mendapat hasil positif, negatif bahkan tidak mendapat apa-apa. Dalam teori keuangan hal ini dikenal dengan istilah risk-return relation. Disamping itu kondisi ekonomi tidak selalu menghadapi masalah inflasi, keberadaan deflasi yang seharusnya menjadi alasan munculnya negative time value of money ini diabaikan oleh teori konvensional.
Sedangkan dalam Ekonomi Islam memandang waktulah yang memiliki nilai ekonomis (penting). Pentingnya waktu disebutkan Allah dalam QS.Al Ashr:1-3, yaitu:
وَالْعَصْرِ (١)إِنَّ الإنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢)إِلا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣)

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”
B. PERSPEKTIF UANG DALAM EKONOMI ISLAM
1. Pengertian Uang Menurut Ekonomi Islam
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat tidak dapat melakukan semuanya secara seorang diri. Ada kebutuhan yang dihasilkan oleh pihak lain, dan untuk mendapatkannnya seorang individu harus menukarnya dengan barang atau jasa yang dihasilkannya. Namun, dengan kemajuan zaman, merupakan suatu hal yang tidak praktis jika untuk memenuhi suatu kebutuhan, setiap individu harus menunggu atau mencari orang yang mempunyai barang atau jasa yang dibutuhkannya dan secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang dimilikinya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sarana lain yang berfungsi sebagai media pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi. Jauh sebelum bangsa Barat menggunakan uang dalam setiap transaksinya, dunia Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai dinar dan dirham.
Uang dalam bahasa Arab disebut “Maal”, asal katanya berarti condong, yang berarti menyondongkan mereka kearah yang menarik, dimana uang sendiri mempunyai daya penarik, yang terbuat dari logam misalnya-tembaga, emas, dan perak. Menurut fiqh ekonomi Umar RA diriwayatkan , uang adalah segala sesuatu yang dikenal dan dijadikan sebagai alat pembayaran dalam muamalah manusia. Berdasarkan sejarah Islam, pada masa Rasulullah SAW. mata uang menggunakan sistem bimetallic standard (emas dan perak) demikian juga pada masa Bani Umayyah dan Bani Abassiyah. Dalam pandangan Islam mata uang yang dibuat dengan emas (dinar) dan perak (dirham) merupakan mata uang yang paling stabil dan tidak mungkin terjadi krisis moneter karena nilai intrinsik sama dengan nilai riil. Mata uang ini dipergunakan bangsa arab sebelum datangnya Islam.
Dalam al-Qur’an ada beberapa ayat yang menunjukkan pengertian uang dan keabsahan penggunaan uang sebagai pengganti sistem barter. Kata-kata yang menunjukkan pengertian ‘uang’ dalam al-Qur’an ada beberapa macam, yaitu :
a. Dinar ( د ينا ر ), yaitu QS. Ali Imran : 75
b. Dirham ( د ر هـم / د را هـم ), yaitu QS. Yusuf : 20
c. Emas dan perak ( ذ هـب / فضـة ), penggunaan kata-kata emas dan perak ini banyak terdapat dalam al-Qur’an antara lain pada QS. At-Taubah : 34.
d. Waraq atau uang tempahan perak ( و ر ق ), yaitu pada QS al-Kahfi ayat 19
e. Barang-barang niaga yang biasa dijadikan alat tukar ( بضـا عـة ), tersebut antara lain pada QS. Yusuf ayat 88.

Ekonomi Islam secara jelas telah membedakan antara money dan capital. Dalam Islam, Uang adalah adalah public good/milik masyarakat, dan oleh karenanya penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) berarti mengurangi jumlah uang beredar. Implikasinya, proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Disamping itu penumpukan uang/harta juga dapat mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian. Oleh karenanya Islam melarang penumpukan / penimbunan harta, memonopoli kekayaan, “al kanzu” sebagaimana telah disebutkan dalam QS. At Taubah 34-35 berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الأحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (٣٤)
”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.

يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأنْفُسِكُمْ فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ (٣٥)
”Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”

Uang Dalam Pandangan al-Ghazali & Ibnu Khaldun, Jauh sebelum Adam Smith menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766 di Eropa., Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, uang berfungsi sebagai media penukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Maksudnya, adalah uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut, dan uang bukan merupakan sebuah komoditi. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maknanya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang. Apabila satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
Merujuk kepada Al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lebih panjang.

2. Fungsi Uang dalam Ekonomi Syariah vs Konvensional
Menurut konsep Ekonomi Syariah, uang adalah uang, bukan capital, sementara dalam konsep ekonomi konvensional, konsep uang tidak begitu jelas. Misalnya dalam buku “Money, Interest and Capital” karya Colin Rogers, uang diartikan sebagai uang dan capital secara bergantian . Sedangkan dalam konsep ekonomi Syariah uang adalah sesuatu yang bersifat flow concept dan merupakan public goods. Capital bersifat stock concept dan merupakan private goods. Uang yang mengalir adalah public goods, sedangkan yang mengendap merupakan milik seseorang dan menjadi milik pribadi (private good).
Islam, telah lebih dahulu mengenal konsep public goods, sedangkan dalam ekonomi konvensional konsep tersebut baru dikenal pada tahun 1980-an seiring dengan berkembangnya ilmu ekonomi lingkungan yang banyak membicarakan masalah externalities, public goods dan sebagainya. Konsep publics goods tercermin dalam sabda Rasulullah Shalallahu alaihiwasalam, yakni “Tidaklah kalian berserikat dalam tiga hal, kecuali air, api, dan rumput”.
Berikut ini merupakan fungsi uang berdasarkan pandangan Ekonomi Islam:
a. Dalam penggunaannya sebagai alat pembayaran atau media untuk pertukaran dalam melaksanakan transaksi ekonomi, maka penggunaan uang sejalan dengan konsep ekonomi syariah. Dimana manfaat uang mencapai nilai optimum bila peredarannya berlaku optimal. Akibatnya segala kegiatan yang mengganggu pemakaian uang dalam transaksi ekonomi tidak sesuai dengan Syariah Islam. Sehingga pada saat emas dipakai sebagai uang, maka penyimpanan emas yang mengakibatkan peredaran uang terganggu (kanzul maal) dilarang oleh Syariah Islam.
b. Dalam penggunaannya sebagai sarana untuk menyimpan nilai maka penggunaan uang tidak bertentangan dengan konsep ekonomi syariah, selama uang tersebut masih bisa dipergunakan dalam kegiatan transaksi perniagaan. Oleh karena itu diperlukan adanya pihak ketiga (dalam hal ini adalah lembaga keuangan) yang menerima simpanan uang dari pihak yang ingin menyimpan nilai dan kemudian menyalurkannya kepada pihak-pihak yang ingin melakukan transaksi sehingga uang tersebut masih dapat dipergunakan dalam transaksi walaupun nilai yang disimpan oleh pemilik asal tidak berkurang.
c. Namun penggunaan uang untuk spekulasi sama sekali bertentangan dengan Syariah Islam, baik karena spekulasi tersebut tidak disukai maupun karena spekulasi umumnya berkaitan dengan menghalangi terjadinya mekanisme pasar yang wajar guna mendapatkan fluktuasi harga yang abnormal. Spekulasi juga mengakibatkan ketidak stabilan nilai dari mata uang itu sendiri karena fluktuasi harga pada hakekatnya adalah fluktuasi nilai (daya beli) dari uang itu sendiri.

Persamaan fungsi uang dalam sistem Ekonomi Syariah dan Konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Perbedaannya adalah ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi motif money demand for speculation, yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan. Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang”.
Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang didapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat dirasakan saat ini, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”.

C. KEBIJAKAN MONETER DALAM PANDANGAN SISTEM EKONOMI ISLAM
1. Pengertian Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah kebijakan pemerintah untuk memperbaiki keadaan perekonomian melalui pengaturan jumlah uang beredar. Untuk mengatasi krisis ekonomi yang hingga kini masih terus berlangsung, disamping harus menata sektor riil, yang tidak kalah penting adalah meluruskan kembali sejumlah kekeliruan pandangan di seputar masalah uang. Bila dicermati, krisis ekonomi yang melanda Indonesia, juga belahan dunia lain, sesungguhnya dipicu oleh dua sebab utama, yang semuanya terkait dengan masalah uang.
a. Pertama, persoalan mata uang, dimana nilai mata uang suatu negara saat ini pasti terikat dengan mata uang negara lain (misalnya rupiah terhadap dolar AS), tidak pada dirinya sendiri sedemikian sehingga nilainya tidak pernah stabil karena bila nilai mata uang tertentu bergejolak, pasti akan mempengaruhi kestabilan mata uang tersebut.
b. Kedua, kenyataan bahwa uang tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar saja, tapi juga sebagai komoditi yang diperdagangkan (dalam bursa valuta asing) dan ditarik keuntungan (interest) alias bunga atau riba dari setiap transaksi peminjaman atau penyimpanan uang.
Persoalan kedua relatif bisa selesai andai saja semua bentuk transaksi yang di dalamnya terdapat unsur riba dinyatakan dilarang. Lembaga keuangan syariah, termasuk bank syariah, menjadi satu-satunya anak tunggal yang sah beroperasi di negeri ini menggantikan bank-bank konvensional. Dengan melarang semua transaksi ribawi, berarti telah menghilangkan factor utama penyebab labilitas moneter. Sebaliknya, tetap membiarkan bank-bank konvensional berjalan (sekalipun pada saat yang sama juga beroperasi bank-bank syariah) sama saja memelihara penyakit yang sewaktu-waktu akan memporak-porandakan kembali bangunan ubuh ekonomi Indonesia.
Sementara itu, persoalan pertama diatasi dengan cara mengkaji ulang mata uang kertas yng selama beberapa puluh tahun terakhir diterima begitu saja tanpa reserve (taken for granted), seolah tidak ada persoalan di dalamnya. Berapa banyak diantara kita yang menyangka bahwa uang kertas yang setiap hari ada di kantong kita menyimpan sebuah persoalan begitu mendasar?
Berkenaan dengan mata uang, Islam memiliki pandangan yang khas. Abdul Qodim Zallum mengatakan bahwa sistem moneter atau keuangan adalah sekumpulan kaidah pengadaan dan pengaturan keuangan dalam suatu negara . Yang paling penting dalam setiap sistem keuangan adalah penentuan satuan dasar keuangan (al-wahdatu al-naqdiyatu alasasiyah) dimana kepada satuan itu dinisbahkan seluruh nilai-nilai berbagai mata uang lain. Apabila satuan dasar keuangan itu adalah emas, maka sistem keuangan/moneternya dinamakan sistem uang emas. Apabila satuan dasarnya perak, dinamakan sistem uang perak. Bila satuan dasarnya terdiri dari dua satuan mata uang (emas dan perak), dinamakan sistem dua logam. Dan bila nilai satuan mata uang tidak dihubungkan secara tetap dengan emas atau perak (baik terbuat dari logam lain seperti tembaga atau dibuat dari kertas), sistem keuangannya disebut sistem fiat money. Dalam sistem dua logam, harus ditentukan suatu perbadingan yang sifatnya tetap dalam berat maupun kemurnian antara satuan mata uang emas dengan perak. Sehingga bisa diukur masing-masing nilai antara satu dengan lainnya, dan bisa diketahui nilai tukarnya. Misalnya, 1 dinar emas syar'i bertanya 4,25 gram emas dan 1 dirham perak syar'iy beratnya 2,975 gram perak.
Sistem uang dua logam inilah yang diadopsi oleh Rasulullah SAW. Ketika itu kendati menggunakan sistem uang dua logam, Rasulullah SAW memang tidak mencetak dinar dan dirham emas sendiri, tapi menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia (ini juga menunjukkan bahwa sistem uang dua logam tidak eksklusif hanya dilakukan oleh ummat Islam). Demikian seterusnya, sistem dua logam itu diterapkan oleh para khalifah hingga masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan (79H). Baru di masa itulah dicetak dinar dan dirham khusus dengan corak Islam yang khas. Dengan cara itu, nilai nominal dan nilai intrinsik dari mata uang dinar dan dirham akan menyatu. Artinya, nilai nominal mata uang yang berlaku akan dijaga oleh nilai instrinsiknya (nilai uang itu sebagai barang, yaitu emas atau perak itu sendiri), bukan oleh daya tukar terhadap mata uang lain. Maka, seberapapun misalnya dollar Amerika naik nilainya, mata uang dinar akan mengikuti senilai dollar menghargai 4,25 gram emas yang terkandung dalam 1 dinar. Depresiasi (sekalipun semua faktor ekonomi dan non ekonomi yang memicunya ada) tidak akan terjadi. Sehingga gejolak ekonomi seperti sekarang ini Insya Allah juga tidak akan terjadi. Penurunan nilai dinar atau dirham memang masih mungkin terjadi. Yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu, mengalami penurunan (biasa disebut inflasi emas). Diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah besar. Tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya, oleh karena penemuan emas besar-besaran biasanya memerlukan usaha eksplorasi dan eksploitasi yang disamping memakan investasi besar, juga waktu yang lama. Tapi, andaipun hal ini terjadi, emas temuan itu akan segera disimpan menjadi cadangan devisa negara, tidak langsung dilempar ke pasaran. Secara demikian pengaruh penemuan emas terhadap penurunan nilai emas di pasaran bisa ditekan seminimal mungkin.Disinilah pentingnya ketentuan emas sebagai milik umum harus dikuasai oleh negara.
Secara syar'i pemanfaatan sistem mata uang dua logam juga selaras dengan sejumlah perkara dalam Islam yang menyangkut uang. Diantaranya tentang nisab zakat harta yang 20 dinar emas dan 200 dirham perak, larangan menimbun harta (kanzu al-mal, bukan idzkar atau saving) dimana harta yang dimaksud disitu adalah emas dan perak, sebagaimanan disebut dalam Surah At Taubah 34. Juga berkaitan dengan ketetapan besarnya diyat dalam perkara pembunuhan (sebesar 1000 dinar) atau batas minimal pencurian (1/4 dinar) untuk dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Itu semua menunjukkan bahwa standar keuangan (monetary standard) dalam sistem keuangan Islam adalah uang emas dan perak.
Untuk menuju sistem uang dua logam, Abdul Qodim Zallum menyarankan sejumlah hal. Diantaranya, menghentikan pencetakan uang kertas dan menggantinya dengan uang dua logam dan menghilangkan hambatan dalam ekspor dan impor emas . Pemanfaatan emas sebagai mata uang tentu akan mendorong eksplorasi dan eksploitasi emas (mungkin secara besar-besaran) untuk mencukupi kebutuhan transaksi yang semakin meningkat.

2. Instrumen-instrumen Kebijakan Moneter dalam Konvensional dan Syari’ah.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa kebijakan moneter adalah proses mengatur persediaan uang sebuah Negara. Biasanya otoritas moneter dipegang oleh Bank Sentral suatu negara. Dengan kata lain, kebijakan moneter merupakan instrumen Bank Sentral yang sengaja dirancang sedemikian rupa untuk mempengaruhi variable-variabel finansial seperti suku bunga dan tingkat penawaran uang. Sasaran yang ingin dicapai adalah memelihara kestabilan nilai uang baik terhadap faktor internal maupun eksternal. Stabilitas nilai uang mencerminkan stabilitas harga yang pada akhirnya akan mempengaruhi realisasi pencapaian tujuan pembangunan suatu negara, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi, perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi riil yang optimum dan stabilitas ekonomi.
Secara prinsip, tujuan kebijakan moneter islam tidak berbeda dengan tujuan
kebijakan moneter konvensional yaitu menjaga stabilitas dari mata uang (baik
secara internal maupun eksternal) sehingga pertumbuhan ekonomi yang merata yang diharapkan dapat tercapai. Stabilitas dalam nilai uang tidak terlepas dari
tujuan ketulusan dan keterbukaan dalam berhubungan dengan manusia. Hal ini
disebutkan AL Qur’an dalam QS.Al.An’am:152
…………وَأَوْفُواْ الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ…….
“……. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. …”
Mengenai stabilitas nilai uang juga ditegaskan oleh M. Umar Chapra (Al Quran Menuju Sistem Moneter yang Adil), kerangka kebijakan moneter dalam perekonomian Islam adalah stok uang, sasarannya haruslah menjamin bahwa pengembangan moneter yang tidak berlebihan melainkan cukup untuk sepenuhnya dapat mengeksploitasi kapasitas perekonomian untuk menawarkan barang dan jasa bagi kesejahteraan sosial umum.
Pelaksanaan kebijakan moneter (operasi moneter) yang dilakukan otoritas moneter sebagai pemegang kendali money supply untuk mencapai tujuan kebijakan moneter dilakukan dengan menetapkan target yang akan dicapai dan dengan instrumen apa target tersebut akan dicapai. Instrumen-instrumen pokok dari kebijakan moneter dalam teori konvensional antara lain adalah:
a. Kebijakan Pasar terbuka. (Open Market Operation). Kebijakan membeli atau menjual surat berharga atau obligasi di pasar terbuka. Jika bank sentral ingin menambah suplai uang maka bank sentral akan membeli obligasi, dan sebaliknya bila akan menurunkan jumlah uang beredar maka bank sentral akan menjual obligasi.
b. Penentuan Cadangan Wajib Minimum. (Reserve Requirement). Bank sentral umumnya menentukan angka rasio minimum antara uang tunai (reserve) dengan kewajiban giral bank (demand deposits), yang biasa disebut minimum legal reserve ratio. Apabila bank sentral menurunkan angka tersebut maka dengan uang tunai yang sama, bank dapat menciptakan uang dengan jumlah yang lebih banyak daripada sebelumnya.
c. Penentuan Discount Rate. Bank sentral merupakan sumber dana bagi bank-bank umum atau komersial dan sebagai sumber dana yang terakhir (the last lender resort). Bank komersial dapat meminjam dari bank sentral dengan tingkat suku bunga sedikit di bawah tingkat suku bunga kredit jangka pendek yang berlaku di pasar bebas. Discount rate yang bank sentral kenakan terhadap pinjaman ke bank komersial mempengaruhi tingkat keuntungan bank komersial tersebut dan keinginan meminjam dari bank sentral. Ketika discount rate relatif rendah terhadap tingkat bunga pinjaman, maka bank komersial akan mempunyai kecendrungan untuk meminjam dari bank sentral.
d. Moral Suasion atau Kebijakan Bank Sentral yang bersifat persuasif berupa
himbauan/bujukan moral kepada bank.
Walaupun pencapaian tujuan akhirnya tidak berbeda, namun dalam pelaksanaannya secara prinsip, moneter syari’ah berbeda dengan yang konvensional terutama dalam pemilihan target dan instrumennya. Perbedaan yang mendasar antara kedua jenis instrumen tersebut adalah prinsip syariah tidak membolehkan adanya jaminan terhadap nilai nominal maupun rate return (suku bunga). Oleh karena itu, apabila dikaitkan dengan target pelaksanaan kebijakan moneter maka secara otomatis pelaksanaan kebijakan moneter berbasis syariah tidak memungkinkan menetapkan suku bunga sebagai target/sasaran operasionalnya.
Adapun instrumen moneter syariah adalah hukum syariah. Hampir semua instrumen moneter pelaksanaan kebijakan moneter konvensional maupun surat berharga yang menjadi underlying-nya mengandung unsur bunga. Oleh karena itu instrumen-instrumen konvensional yang mengandung unsur bunga (bank rates, discount rate, open market operation dengan sekuritas bunga yang ditetapkan didepan) tidak dapat digunakan pada pelaksanaan kebijakan moneter berbasis Islam. Tetapi sejumlah instrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, seperti Reserve Requirement, overall and selecting
credit ceiling, moral suasion and change in monetary base.
Dalam ekonomi Islam, tidak ada sistem bunga sehingga bank sentral tidak dapat menerapkan kebijakan discount rate tersebut. Bank Sentral Islam memerlukan instrumen yang bebas bunga untuk mengontrol kebijakan ekonomi moneter dalam ekonomi Islam. Dalam hal ini, terdapat beberapa instrumen bebas bunga yang dapat digunakan oleh bank sentral untuk meningkatkan atau menurunkan uang beredar. Penghapusan sistem bunga, tidak menghambat untuk mengontrol jumlah uang beredar dalam ekonomi.
Secara mendasar, terdapat beberapa instrumen kebijakan moneter dalam ekonomi Islam , antara lain :
a. Reserve Ratio
Adalah suatu presentase tertentu dari simpanan bank yang harus dipegang oleh bank sentral, misalnya 5 %. Jika bank sentral ingin mengontrol jumlah uang beredar, dapat menaikkan RR misalnya dari 5 persen menjadi 20 %, yang dampaknya sisa uang yang ada pada komersial bank menjadi lebih sedikit, begitu sebaliknya.
b. Moral Suassion
Bank sentral dapat membujuk bank-bank untuk meningkatkan permintaan kredit sebagai tanggung jawab mereka ketika ekonomi berada dalam keadaan depresi. Dampaknya, kredit dikucurkan maka uang dapat dipompa ke dalam ekonomi.
c. Lending Ratio
Dalam ekonomi Islam, tidak ada istilah Lending (meminjamkan), lending ratio dalam hal ini berarti Qardhul Hasan (pinjaman kebaikan).
d. Refinance Ratio
Adalah sejumlah proporsi dari pinjaman bebas bunga. Ketika refinance ratio
meningkat, pembiayaan yang diberikan meningkat, dan ketika refinance
ratio turun, bank komersial harus hati-hati karena mereka tidak di dorong untuk memberikan pinjaman.
e. Profit Sharing Ratio
Ratio bagi keuntungan (profit sharing ratio) harus ditentukan sebelum memulai suatu bisnis. Bank sentral dapat menggunakan profit sharing ratio sebagai instrumen moneter, dimana ketika bank sentral ingin meningkatkan jumlah uang beredar, maka ratio keuntungan untuk nasabah akan ditingkatkan.
f. Islamic Sukuk
Adalah obligasi pemerintah, di mana ketika terjadi inflasi, pemerintah akan
mengeluarkan sukuk lebih banyak sehingga uang akan mengalir ke bank sentral dan jumlah uang beredar akan tereduksi. Jadi sukuk memiliki kapasitas untuk menaikkan atau menurunkan jumlah uang beredar. Government Investment Certificate
Penjualan atau pembelian sertifikat bank sentral dalam kerangka komersial, disebut sebagai Treasury Bills. Instrumen ini dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dan dijual oleh bank sentral kepada broker dalam jumlah besar, dalam jangka pendek dan berbunga meskipun kecil. Treasury Bills ini tidak bisa di terima
dalam Islam, maka sebagai penggantinya diterbitkan pemerintah dengan sistem
bebas bunga, yang disebut GIC: Government Instrument Certificate.
Saat ini terdapat beberapa bank sentral, baik yang menggunakan single banking (bank Islam saja) maupun dual banking system yang telah menciptakan dan menggunakan instrumen pengendalian moneter ataupun menggunakan surat berharga dengan underlying pada transaksi-transaksi syariah. Prinsip transaksi syariah yang digunakan antara lain adalah Wadiah, Musyarakah, Mudharabah, Ar-Rahn, maupun Al-Ijarah
a. Prinsip Wadiah
Digunakan di Indonesia berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI) dan Malaysia berupa Wadiah Interbank Acceptance (WIA).
b. Prinsip Musyarakah
Negara yang menggunakan mekanisme ini adalah Sudan yang dikenal sebagai Government Musharakah Certificate (GMC) dan Central Bank Musharakah Certificate (CMC).
c. Prinsip Mudharabah
Negara yang menggunakan adalah Republik Iran dikenal dengan National Participation Paper (NPP), dan Negara Malaysia dengan Mudharabah Money Market Operations
d. Prinsip Al Ijarah
Instrumen pengendalian moneter yang digunakan antara lain
Sukuk Al Ijarah. Negara-negara yang sudah menerbitkan Sukuk dan menggunakannya sebagai instrumen pengendalian moneter antara lain adalah Malaysia dan Bahrain.

3. Strategi Kebijakan Ekonomi Islam
Dalam sebuah perekonomian Islam, permintaan terhadap uang akan lahir terutama dari motif transaksi dan tindakan berjaga-jaga yang ditentukan pada umumnya oleh tingkatan pendapatan uang dan distribusinya. Permintaan terhadap uang karena motif spekulatif pada dasarnya didorong oleh fluktuasi suku bunga pada perekonomian kapitalis. Suatu penurunan dalam suku bunga dibarengi dengan harapan tentang kenaikannya akan mendorong individu dan perusahaan untuk meningkatkan jumlah uang yang dipegang. Karena suku bunga seringkali berfluktuasi pada perekonomian kapitalis, terjadilah perubahan terus-menerus dalam jumlah uang yang dipegang oleh publik. Penghapusan bunga dan kewajiban membayar zakat dengan laju 2,5 persen per tahun tidak saja akan meminimalkan permintaan spekulatif terhadap uang dan mengurangi efek suku bunga ”terkunci”, tetapi juga akan memberikan stabilitas yang lebih besar bagi permintaan total terhadap uang. Hal ini lebih jauh akan diperkuat oleh sejumlah faktor antara lain sebagai berikut :
a. Aset pembawa bunga tidak akan tersedia dalam sebuah perekonomian Islam, sehingga orang yang hanya memegang dana likuid menghadapi pilihan apakah tidak mau terlibat dengan resiko dan tetap memegang uangnya dalam bentuk cash tanpa memperolah keuntungan, atau turut berbagi resiko dan menginvestasikan uangnya pada aset bagi hasil sehingga mendapatkan keuntungan.
b. Peluang investasi jangka pendek dan panjang dengan berbagai tingkatan resiko akan tersedia bagi para investor tanpa memandang apakah mereka adalah pengambil resiko tinggi atau rendah, sejauh mana resiko yang dapat diperkirakan akan diganti dengan laju keuntungan yang diharapkan.
c. Barangkali dapat diasumsikan bahwa --kecuali dalam keadaan resesi-- tak akan ada pemegang dana yang cukup irasional untuk menyimpan sisa uangnya setelah dikurangi oleh keperluan-keperluan transaksi dan berjaga-jaga selama ia dapat menggunakan sisanya yang menganggur untuk melakukan investasi pada aset bagi hasil untuk menggantikan paling tidak sebagian efek erosif zakat dan inflasi, sejauh dimungkinkan dalam sebuah perekonomian Islam.
d. Laju keuntungan --bebeda dari laju suku bunga-- tidak akan ditentukan di depan. Satu-satunya yang akan ditentukan di depan adalah rasio bagi hasil, ini tidak akan mengalami fluktuasi, seperti halnya suku bunga karena ia akan didasarkan pada konvensi ekonomi dan sosial, dan setiap ada perubahan didalamnya akan terjadi lewat tekanan kekuatan-kekuatan pasar sesudah terjadi negosiasi yang cukup lama. Jika prospek ekonomi cerah, keuntungan secara otomatis akan meningkat. Karena itu, tidak ada apa pun yang didapat dengan menunggu.

4. Kebijakan Moneter Pada Masa Rasulullah.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa mata uang yang digunakan bangsa arab, baik sebelum atau sesudahnya, adalah dinar dan dirham. Kedua mata uang tersebut memiliki nilai uang yang tetap dan karenanya tidak ada masalah dalam perputaran uang. Walaupun demikian, dalam perkembangan berikutnya, dirham lebih umum digunakan daripada dinar. Hal ini sangat berkaitan erat dengan penaklukan tentara Islam terhadap hampir seluruh wilayah kekaisaran Persia. Sementara itu, tidak semua wilayah kekaisaran Romawi berhasil dikuasai oleh tentara Islam.
Pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW ini, kedua mata uang tersebut diimpor, dinar dari Romawi dan dirham dari Persia. Besarnya volume dinar dan dirham yang diimpor dan juga barang-barang komoditas bergantung kepada volume komoditas yang diekspor ke dua negara tersebut dan wilayah-wilayah lain yang berada dibawah pengaruhnya. Lazimnya, uang akan diimpor jika permintaan uang (money demand) pada pasar internal mengalami kenaikan. Dan sebaliknya, komoditas akan diimpor apabila permintaan uang mengalami penurunan.
Karena tidak adanya pemberlakuan tarif dan bea masuk pada barang impor, uang diimpor dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi permintaan internal. Pada sisi lain, nilai emas dan perak pada kepingan dinar dan dirham sama dengan nilai nominal (face value) uangnya, sehingga keduanya dapat dibuat perhiasan atau ornamen. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada awal periode Islam, penawaran uang (money suply) terhadap pendapatan , sangat elastis.
Frekuensi transaksi perdagangan dan jasa, menciptakan permintaan uang. Karena itu motif utama permintaan terhadap uang pada masa ini adalah permintaan transaksi (transaction demand). Sementara itu adanya peperangan antara kaum Quraisyi dan kaum muslimin (sedikitnya terjadi 26 ghozwah dan 32 sariyah yang berarti rata-rata 5 kali perang dalam setiap tahunnya), telah menimbulkan permintaan uang untuk berjaga-jaga (precautionary demand) terhadap kebutuhan yang tidak terduga. Akibatnya, permintaan terhadap uang selama periode ini secara umum bersifat permintaan transaksi dan pencegahan. Larangan penimbunan, baik uang maupun komoditas, dan talqqi rukhban tidak memberikan kesempatan kepada penggunaan uang dengan selain kedua motif tersebut.
Ketika penduduk arab banyak yang memeluk agama islam, jumlah populasi kaum muslimin berkembang dengan pesat. Disamping itu, harta rampasan perang (ghonimah) dibagikan kepada seluruh kaum muslimin, sehingga standar hidup dan pendapatan mereka meningkat. Berdasarkan semua ini, Nabi Muhammad SAW, melalui kebijakan khususnya, meningkatkan kemampuan produksi dan ketenaga kerjaan kaum muslimin
secara terus menerus. Keseluruhan faktor ini meningkatkan permintaan transaksi
terhadap uang dalam perekonomian periode awal islam.
Disamping itu, penawaran uang tetap elastis karena tidak ada hambatan terhadap impor uang ketika permintaan terhadapnya mengalami kenaikan. Disisi lain, ketika penawaran akan naik, penawaran berlebih (exces supply) akan diubah secara mudah menjadi ornament emas atau perak. Akibatnya, tidak ada penawaran atau permintaan berlebih terhadap mata uang emas dan perak sehinga pasar akan selalu tetap pada keseimbangan (equilibrium). Oleh karena itu, nilai uang tetap stabil.






BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
Uang dalam ekonomi Islam hanya digunakan untuk bertransaksi dan berjaga-jaga. Uang bukan komoditi yang mempunyai harga, oleh karenanya uang tidak dapat diperjualbelikan. Uang merupakan publics goods, uang yang tidak produktif (idle asset) akan dikenakan pajak sehingga jumlahnya akan berkurang, oleh karena itu uang harus dimanfaatkan di sektor produktif/sektor riil (flow
concept). Kemajuan sektor moneter dalam ekonomi Islam tidak bisa dilepaskan
dari kemajuan sektor riil melalui penyediaan uang guna pembiayaan perekonomian yang tergantung pada sektor riil. Kebijakan moneter dalam ekonomi Islam hanya bersifat pelengkap untuk memenuhi pembiayaan sektor riil.
Perbedaan utama kebijakan moneter konvensional dan Islam adalah Islam tidak mengakui adanya instrumen suku bunga karena jelas dalam Alqur’an riba itu sangat dilarang atau haram. Hikmah pelarangan riba agar terjadi hubungan partnership antara pemilik modal dan usaha secara adil.
Sejumlah intrument kebijakan moneter konvensional menurut sejumlah pakar ekonomi Islam seperti Reserve Requirement, overall and selecting credit
ceiling, moral suasion and change in monetary base, equity based type of
securities masih dapat digunakan untuk mengontrol uang dan kredit, sepanjang
sesuai dengan prinsip transaksi syariah antara lain adalah Wadiah, Musyarakah,
Mudharabah, Ar-Rahn, maupun Al-Ijarah.
Kebijakan moneter yang dikelola dengan baik akan menghasilkan tingkat
perekonomian yang stabil melalui mekanisme transmisinya pada harga dan output yang pada akhirnya membawa efek pada variabel-variabel lain seperti tenaga kerja dan pendapatan negara.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran

A. Karim, Adiwarman, 2007, Ekonomi Makro Islami, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Chapra, M. Umer, 2000, Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani.
Kajian Pengembangan Instrumen OPT Dalam Rangka Pelaksanaan Pengendalian Moneter Melalui Perbankan Syariah, Direktorat Pengembangan Moneter Bank Indonesia, 2006

Konsep Uang Dalam Ekonomi Islam (Online), (http://www.infogue.com/bisnis_keuangan/konsep_uang_dalam_ekonomi_islam/), diakses 10 Oktober 2009

Masyhuri, 2005, Teori Ekonomi Dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana,.
Muhammad, 2002, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islami,
Jakarta: Penerbit Salemba Empat, Jakarta 2002

Rogers Colin, Money, Interest and Capital.

Samuelson, Paul A., 1991, Ekonomi edisi 12, Jakarta: Erlangga.

Rabu, 17 Maret 2010

nalar fiqih

Jurnal Nalar Fiqh Juni 2009

JURNAL NALAR FIQIH

http://www.scribd.com/full/28494099?access_key=key-web8gt0yp6irgh69yot

Jumat, 19 Februari 2010

Transformasi Keagamaaan

Agama pada hakikatnya merupakan pondasi dan tuntunan hidup (way of life) yang akan membawa manusia pada kehidupannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral yang terlihat dari perilaku kesehariannya. Beragama bukan berarti persoalan ritual, namun juga persoalan moral dan etika, karena perilaku manusia sering diasumsikan orang sebagai manifestasi pemahamam beragamanya, bila pemahaman beragama itu lemah atau kuat, maka akan berpengaruh pada praktek dan perilaku kesehariannya.
Suatu kenyataan bahwa agama merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun secara berkelompok. Agama dan manusia ibarat dua sisi dari satu mata uang logam yang sama. Dari perumpamaan itu dapatlah disimpulkan bahwa manusia haruslah selalu beragama, tanpa agama kehidupan manusia senantiasa labil.
Seperti dikutip oleh Dadang Kahmad, menurut Cicero pembuat hukum Romawi, agama ialah anutan yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan. Adapun menurut seorang filosof kritikus dari Jerman, Emmanuel Kant, mengatakan bahwa agama ialah perasaan tentang wajibnya melaksanakan perintah-perintah Tuhan.
Menurut Redfield, bahwa agama adalah pengarahan manusia agar tingkah lakuanya sesuai dengan perasaan tentang adanya hubungan antara jiwanya dengan jiwa yang tersembunyi, memiliki kekuasaan di atas dirinya dan di atas sekalian alam, sedangkan dia rela untuk berhubungan dengannya dengan cara seperti itu.
Para ahli sepakat bahwa penguasaan agama hanya didominasi oleh manusia. Hal ini karena agama merupakan salah satu aspek yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Disamping itu, hanya manusia yang diangggap mempunyai dua unsur kehidupan, yaitu rohani dan jasmani. Kebutuhan manusia tidak hanya bersifat material biologis saja, seperti makan-minum, menikah dan bertempat tinggal, tetapi juga pemenuhan kepuasan rohani, yaitu rasa bahagia, berbakti, dan berkreasi.
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supranatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang perorang maupun dalam hubungannya dengan kahidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari.
Agama yang dianggap suatu jalan hidup bagi manusia (way of life) menuntun manusia agar hidupnya tidak kacau. Agama berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina hubungan dengan tuhan dan hubungan dengan sesama manusia dan dengan alam yang mengitarinya. Dengan kata lain, agama pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengatur untuk terwujudnya integritas hidup manusia dalam hubungan dengan Tuhan dan hubungannya dengan alam yang mengitarinya. Agama merupakan firman Tuhan yang diwahyukan kepada utusan-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia. Selaku titah dari Yang Mahakuasa yang terdapat di alam sana, wahyu diturunkan dalam makna yang paling tinggi, memakai simbol-simbol agung, dan manusia mencoba memahami dengan kadar kemampuannya yang sangat terbatas. Hakikat maksud firman itu hanya Tuhanlah yang tahu, sedangkan manusia hanya mencoba untuk mendekati kebenaran hakikat dari maksud keinginan tuhan tersebut.
Walaupun demikian pada sisi lain agama dalam struktur sosial yang banyak melahirkan kendala baik bagi kemajuan ekonomi seperti yang terjadi dewasa ini, yaitu struktur yang represif dan hanya melestarikan keterbelakangan, pandangan rasional tentang agama dengan berbagai kompleks transendentalnya, tidaklah menarik perhatian masyarakat, apa yang menarik bagi mereka dalam suasana keterbelakangan itu adalah agama kerakyatan dengan segala perangkat ritualnya. Agama adalah untuk melayani kebutuhan psikologis bagi kesengsaraan duniawi mereka.
Pengertian Agama yang demikian banyak ditemukan pada masyarakat pinggiran kota Jambi, agama menurut mereka adalah agama yang secara materi dapat menyelesaikan persoalan hidup yang mereka rasakan, tetapi juga dalam beberapa kesempatan penulis menemukan kelompok masyarakat yang memiliki pemahaman agama yang secara tradisi diwariskan oleh pendahulu mereka, pemahaman beragama yang telah membudaya ini membantu peneliti untuk melihat perubahan kehidupan beragama mereka.
Kedua, agama cenderung dianggap sebagai Ideology yang difahami sebagai agama acapkali adalah manifestasi dari sebuah ajaran nilai yang dijadikan landasan untuk melakukan perubahan di segala bidang. Tentu berbeda dalam kasus Islam, yang difahami orang-orang awam dengan yang difahami elitenya kontras karena pada pase ini agama sering dilakukan pengabsahkan pada setiap upaya pengkajian ulang ajaran-ajaran keagamaan yang diimani secara konsepsional. Karena tugas umat beragama di kemudian hari tinggal mengenali konsep-konsep tersebut menghapal sebisanya dan di atas segalanya adalah mengamalkan menurut tatacara yang diajarkan, tanpa melihat latar belakang historis dari suatu ajaran akan berakibat pada taklid buta dan menjadi kerangka yang kosong bahkan acap kali pemahaman yang dianggap benar itu menjadi sebuah ajaran yang “suci” dan tidak terbantahkan.
Dukheim mengambarkan agama adalah budaya, yang berarti agama merupakan kumpulan keyakinan yang menjadi warisan nenek moyang, hal itu berkaitan dengan perasaan-perasaan pribadi, sehingga sering kali terjadi mitasi terhadap modus-modus lama, bahkan agama-agama, ritual-ritual, aturan-aturan dan praktek-praktek yang secara sosial telah baku dan terus diwarisi oleh generasi selanjutnya.
Budaya dalam pengertian ini adalah ketidaksadaran kolektif dari suatu tradisi yang muncul, tumbuh dan terus diwarisi tanpa mengetahui akar historis dari suatu ajaran agama dan hakikat dasarnya pun akan hilang ditelan sejarah. Pemikiran ulama abad pertengahan bila tidak difahami secara kontektual akan mengakibatkan kesalahpahaman terhadap makna historis dari ajaran tersebut namun bila difahami konteks historisnya akan menemukan akar teologis yang akan melahirkan suatu penomena baru dalam pemahaman beragama saat ini.
Bila terus difahami ajaran-ajaran agama tersebut dalam konteks sekarang ini maka akan melahirkan sikap fanatisme, apatis, dan stagnan. Bahkan bila tidak direformulasi maka pemahaman agama tersebut bila dijalankan tidak memberi asar apa-apa karena penafsiran itu hanya bersifat seremonial saja dan jauh dari subtansi ajaran, karena suatu ajaran apalagi ajaran Islam harus menjadi rahmat bagi seluruh makhluk bumi, karena Islam adalah agama yang terakhir dan komprehensif tentu pemahaman beragamapun akan menyelesaikan banyak dari persoalan beragama di sinilah yang sering dikatakan dengan universalitas Islam.
Sehingga tidak menjadi kerangka yang kosong, apalagi agama hanya sekedar melengkapi status sosial seseorang saja yang sangat ironis adalah politisasi agama yang terus terjadi.
Pemahaman Umat terhadap agama adalah sebagai tempat pelibur lara, tempat berkeluh kesah dan dengan agama dapat menyelesaikan kompleknya permasalahan sehari-hari.
Sampai tahun 1990 masyarakat pinggiran kota Jambi memiliki kehidupan beragama yang religius, hampir tidak ditemukan kehidupan beragama yang tidak sesuai dengan ajaran agama, misalkan pada saat beduk magrib berbunyi umumnya masyarakat akan bersegera ke masjid, baik orang tua, pemuda dan bahkan anak-anak akan antusias melaksanakan sholat berjamaah di masjid.
Pada bulan romadhan, masyarakat akan antuisias melaksanakan sholat tarawih, tadarus al-Qur’an di Masjid dan bahkan setelah sahur mereka akan segera berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan sholat shubuh berjamaah, dan terkadang setelah sholat shubuh ada pengajian tujuh menit oleh Imam masjid.
Pada acara walimahtul ‘urs masyarakat akan mengundang kelompoknya untuk bersama-sama membaca tahlil, barjanji dan hiburan dengan menampilkan tim rebana tetapi saat sekarang praktek kebudayaan keagamaan tersebut telah pudar dan terjadi secara signifikan perubahan dalam level pemahaman hingga level pengamalan, hal ini terjadi tidak hanya di ibukota kabupaten bahkan telah merambah pada kecamatan dan bahkan pada level desa.
Dalam hal pengamalan beragama masyarakat pinggiran kota pada 1980 hingga tahun 1990 seperti memakai sarung dan penutup kepala dengan pakaian yang sesuai dengan tertib penampilan yang Islami, tidak ditemukan ke acara-cara hari besar Islam yang ditemukan saa ini aalah pakaian celana jeans yang robek, atau dengan pakaian yang kumuh tak bersih dan rapi sungguh sekarang kesederhanan itu mulai sirna. Wanita remaja mulai mengenakan pakaian yang ketat dan terkadang bagian baju yang sedikit terbuka dengan jilbab seadanya terikat mereka pergi menghadiri acara-acara kagamaan atau non keagamaan.
Masyarakat pinggiran kota Jambi juga terkena dampak dari perubahan tersebut, secara geografis masyarakat pinggiran kota seharusnya sebagai penyangga, namun dengan begitu besarnya pengaruh budaya kota sehingga dapat juga mengubah masyarakat pinggiran kota Jambi. Bahkan terkadang perubahan masyarakat pada pinggiran kota lebih dahulu mengalami perubahan di banding masyarakat perkotaan. Hal ini menarik untuk difahami lebih lanjut dan diteliti dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan.
Secara factual saat ini ketaatan masyarakat terhadap praktek keagamaan menjadi benang kusut, masyarakat lebih cenderung bersikap apatis terhadap kehidupan beragama mereka. Sehingga peneliti akan melihat perubahan kehidupan beragama masyarakat pinggiran kota Jambi.

Rabu, 17 Februari 2010

AGAMA DAN EKONOMI MOSLEM

Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.
Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial.
Agama biasanya meresepkan pengikut mereka untuk menampilkan perilaku yang berbeda dalam konsumsi, produksi, dan pertukaran. Terkenal adalah contoh umat Katolik tidak makan daging pada hari Jumat selama Prapaskah, Hindu menjadi vegetarian dan Muslim dan Yahudi menghindari daging babi, Muslim berdoa lima kali sehari, dan orang-orang Yahudi dan Kristen mengamati hari Sabat. Sebagai tema umum dalam contoh ini, individu diminta untuk berkomitmen pada sebuah pola perilaku dengan secara konsisten memilih salah satu tindakan terhadap para alternatif dan tidak menyimpang dari pola bahkan ketika keadaan (misalnya, harga, biaya, sumbangan) perubahan.
Meskipun beberapa pengikut agama tidak dapat mengamati perilaku yang ditentukan secara tegas dan mungkin ada beberapa nonreligius individu yang mungkin juga akan menampilkan pola yang sama, bahwa semua pengikut biasanya mengamati pola yang sama tetapi dengan berbagai tingkat kepatuhan tetap menunjukkan sumber perilaku komitmen yang berasal dari keyakinan agama.
Yang pertama adalah untuk melihat perilaku keagamaan sebagai sesuatu yang kurang rasional atau terang-terangan tidak rasional dan dengan demikian di luar domain ekonomi. Pendekatan alternatif yang baru-baru ini semakin populer telah memberikan penjelasan ekonomi sifat dan konsekuensi dari perilaku keagamaan.
Penjelasan ini biasanya menerapkan konsep dan model-model ekonomi dengan melihat orang-orang percaya sebagai konsumen rasional dan organisasi keagamaan sebagai klub atau perusahaan yang secara kolektif merupakan pasar agama.
Sisi penawaran faktor-faktor seperti perbedaan dalam kesempatan set, sisi permintaan faktor-faktor seperti preferensi yang berbeda dari orang-orang percaya, atau faktor-faktor sosial seperti rekan-tekanan telah diusulkan untuk menjelaskan berbagai cara yang berbeda behavior.1 Kami menganjurkan ketiga pendekatan umum dalam tulisan ini dengan meminjam pemahaman dari disiplin lain , terutama dari filsafat.
Mengidentifikasi kelemahan penjelasan ekonomi sebelumnya, kami menawarkan penjelasan alternatif yang mengandalkan diskusi filosofis pada konsep integritas. Kami menggunakan pengertian integritas didefinisikan sebagai identitas-berunding komitmen untuk mengembangkan suatu analisis ekonomi pilihan. Berfokus pada perilaku keagamaan, kita menggunakan analisis menunjukkan jalan pengaruh komitmen terhadap perilaku berbeda dari orang-orang preferensi dan tekanan sosial. Kami juga membahas perpanjangan dari argumen untuk isu-isu terkait seperti banyaknya dimensi identitas.
Tindakan ekonomi adalah setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling baik dan paling menguntungkan. misalnya: Ibu memasak dengan kayu bakar karena harga minyak tanah sangat mahal. Tindakan ekonomi terdiri atas dua aspek, yaitu :
Tindakan ekonomi Rasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan dan kenyataannya demikian.
Tindakan ekonomi Irrasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan namun kenyataannya tidak demikian.
Motif Ekonomi
Motif ekonomi adalah alasan ataupun tujuan seseorang sehingga seseorang itu melakukan tindakan ekonomi. Motif ekonomi terbagi dalam dua aspek:
Motif Intrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan tidakan ekonomi atas kemauan sendiri.
Motif ekstrinsik, disebut sebagi suatu keinginan untuk melakukan tidakan ekonomi atas dorongan orang lain.
Pada prakteknya terdapat beberapa macam motif ekonomi:
Motif memenuhi kebutuhan
Motif memperoleh keuntungan
Motif memperoleh penghargaan
Motif memperoleh kekuasaan
Motif sosial / menolong sesama
Prinsip Ekonomi
Prinsip ekonomi merupakan pedoman untuk melakukan tindakan ekonomi yang didalamnya terkandung asas dengan pengorbanan tertentu diperoleh hasil yang maksimal.
Banyak orang beranggapan bahwa agama hanya merupakan program-program yang kosong dan nilai-nilai akhlak semata, Ini adalah keyakinan klasik dan salah. Pada hakikatnya, agama adalah sistem dalam kehidupan dan pergaulan. Intinya ialah hubungan dengan Allah SWT. Oleh karena itu, usaha memisahkan antara problem-problem tauhid dan perilaku manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari berarti memisahkan agama dari kehi¬dupan dan mengubahnya menjadi adat-istiadat, tradis-tradisi, dan acara-acara ritual yang hampa.
Homo economicus, the Economic Man, represents a rational human being formalized in certain social science models, especially in economics, who acts in self-interest to achieve in a goal-oriented manner. As John Kay puts it, "He is self interested, materialistic, and obsessed with calculating his worth." In the world of economics textbooks, "... he is the mainstay of economic life." The edifice of modern economics is built on the foundation of Homo economicus, where the behavior of this creature is assumed to be ascertained in the positivist tradition of social science.

Manusia ekonomi yang direpresentasikan sebagai manusia yang rasional dalam model ilmu ekonomi, tindakan rasional manusia ini akan berujung pada kepentingan diri (self interest) untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Metode yang menonjol untuk mendefenisikan rasionalitas perilaku dalam teori ekonomi. Pertama, memandang rasionalitas sebagai konsistensi internal terhadap pilihan, dan yang kedua adalah mengindentifikasikan rasionalitas dengan maksimalisasi kepentingan diri.
Persoalan yang pertama, rasionalitas sebagai konsistensi personal yang menjadi disposisi dalam menentukan berbagai pilihan-pilhan ekonomi, dalam bahasa ekonomi di sebut dengan preferensi, lebih jauh pilihan-pilihan tersebut dapat difahami dalam kegiatan konsumsi. Manusia dalam memenuhi kebutuhan (need) dan keinginan (want) sebagai kebutuhan-kebutuhan pokok (dhorury) baik yang tahan lama (durabel good) atau pun barang yang lekas habis (undurabel good).
Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia memiliki dua metode rasionalis dan lainnnya memaximumkan kepentingan dirinya. Teks-teks pelajaran ekonomi memahaminya sebagai suatu Perilaku dalam konsumsi disebut perilaku konsumen (consumer behavior). Perilaku yang dimiliki manusia dipengaruhi pada disposisi, stimulus, ciri social, norma, system social, culture atau tradisi dan kepercayaan (belief) nya sehingga pemahaman terhadap agama tertentu juga ikut andil dalam tindakan rasional ekonomi manusia.
Analisis Weber tentang etika protestan dan spirit kapitalisme menjadi mitos tentang suatu system kepercayaan dapat mempengaruhi dan berhubungan terhadap perilaku seseorang . Walapun sebenarnya perilaku ekonomi tingkat individual, desa, regional, atau wilayah tertentu memiliki korelasi membingungkan. Sebab manusia dalam tingkatan tersebut masih dipengaruhi oleh perilaku budaya yang mereka temukan dari hasil interaksi terhadap pendahulu mereka.
Perilaku rasional dari term homo economicus ini factual dikalangan muslim, pengaruh pada nilai dari suatu barang. Rasional menyangkut persoalan rasio yang proporsional dalam tindakan konsumsi. Dyke memberi beberapa contoh manusia yang berperilaku rasional:
Pertama, manusia bertahan hidup dengan memenuhi kebutuhan pangan mereka. Namun makan terlalu banyak melebihi kebutuhan baik segi kualitas makanan maupun kuantitas makanan, apakah sesuai dengan tuntutan makanan tersebut? Tuntutan dari mana makan tersebut diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya?
Kedua,
The most important difference between Homo islamicus and Homo economicus is the assumption of altruism . As with other pre-capitalist systems, Islam is preoccupied with the welfare of a community where every individual behaves altruistically and according to religious norms.

Perbedaan yang paling penting antara homo islamicus dan economicus terletak pada bagaimana manusia berasumsi terhadap altruism. Berbeda dengan system kapitalis, Islam berfikir tentang kesejahteraan komunitas dimana setiap individu berperilaku dengan asas yang mengutamakan kepentingan orang lain dan tergantung pada norma agama.
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
Pertama, keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
Kedua,Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
Ketiga, Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265)