Jumat, 04 Desember 2009

Pengukuran Gharar dalam Transaksi

Identifikasi dan Pengukuran Gharar dalam Transaksi Pertukaran
I. Pendahuluan
Aspek Gharar sudah diatur dalam hukum Islam, zaki badawi (1998) menjelaskan gharar suatu yang tidak pasti. Dan menurut vogel (1998) gharar serupa dengan Riba. Disamping itu transaksi yang mengandung gharar juga setara dengan konsep zero sum game dengan pemberian imbalan yang tidak pasti. Salah satu pembahasan konsep gharar secara detail dari paper ini yang ditulis oleh sami al-suwaelim lebih menyoroti eksistensi “gharar” dan metode identifikasi dan pengukurannya dalam transaksi pertukaran dengan basis fiqh klasik.
I. 1. Urgensi Kajian
Dalam paper ini lebih menyoroti eksistensi “gharar” dan metode identifikasi dan pengukurannya dalam transaksi pertukaran dengan basis fiqh klasik. Meliputi beberapa pembahasan antara lain Bagian 2 menjelaskan tentang konsep dasar dan defenisi dari berbagai istilah yang berkaitan dengan “gharar” seperti game, zero sum-game, dan sebagainya. Bagian 3, penulis mencoba melakukan komparasi antara konsep gharar dan zero sum-game yang dikenal dalam keuangan konvensional. Bagian 4 menampilkan metode pengukuran eksistensi gharar berdasarkan panduan syariah. Bagian 5 memberikan identifikasi terhadap beberapa transaksi yang ”dicurigai” mengandung gharar. Bagian 6 memaparkan tentang aplikasi konsep zero sum-game dalam transaksi keuangan modern. Bagian 7 tentang signifikansi dari konsep zero sum-game dan bagian akhir ditutup dengan kesimpulan dan tanggapan.
Pelarangan gharar semakin relevan untuk era modern ini karena pasar keuangan modern banyak mengandung usaha memindahkan risiko (bahaya) pada pihak lain (dalam asuransi konvensional, pasar modal dan berbagai transaksi keuangan yang mengandung unsur perjudian). Dimana setiap usaha (bisnis) pasti memiliki risiko dan tidak dapat dihindari. Sistem inilah yang dihapus oleh Islam agar proses transaksi tetap terjaga dengan baik dan persaudaraan tetap terjalin dan tidak menimbulkan permusuhan bagi yang melalukan transaksi dalam pasar keuangan.
2. Konsep dan Definisi Gharar
Gharar secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana salah satu pihak mempunyai informasi memadai tentang berbagai elemen subyek dan objek akad. gharar adalah semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan atau keraguan tentang adanya komoditi yang menjadi objek akad, ketidakjelasan akibat, dan bahaya yang mengancam antara untung dan rugi; pertaruhan, atau perjudian. Seperti dalam paper menurut Zaki Badawi (1998, p. 16) mengenai harga dari gharar suatu hal yang tidak pasti.
2.1. Klasifikasi gharar
Terdapat 4 (empat) konsep dasar yang berkaitan erat dengan pembahasan gharar yaitu konsep game, zero sum-game, normal exchange (konsep pertukaran normal) dan konsep resiko.
a. Game
Yang dimaksud adalah sebuah pertukaran yang melibatkan dua pihak untuk tujuan tertentu yang dalam terminologi fiqh lebih dikenal dengan mu’awadhah bi qashd al-ribh (transaksi pengganti dengan keuntungan).
b. Zero Sum Game
Seperti susunan katanya, ”permainan dengan hasil bersih nol” adalah konsep permainan yang hanya menghasilkan output win-lose (menang-kalah). Kemenangan yang diperoleh satu pihak adalah secara terbalik kerugian bagi pihak lain. Hasil yang diperoleh satu pihak tidak akan naik tanpa mengurangi hasil pihak lain. Dalam ungkapan Friedman (1990, h. 20-21) bahwa zero sum-game adalah permainan dengan hasil pareto optimal. Tidak ada hasil yang mengakomodasi kedua belah pihak, tidak ada kerjasama. Disinilah terletak adanya unsur gharar sifat dari kontrak berjangka yang zero-sum game (pasti ada yang untung disebabkan pasti ada yang rugi) juga mendukung transaksi ini lebih mendekatkan transaksi menjadi maysir ketika transaksi pertukaran dari kontrak tersebut sangat berubah-ubah (volatile) pertukarannya dan sulit untuk ditebak pergerakannya (khususnya pada kontrak berjangka valuta asing). Keuntungan dan kerugian yang bahkan bisa tidak terbatas jumlahnya membuat kontrak ini bisa berubah menjadi sekedar a game of chance (perjudian) yang jelas mendorong prilaku spekulatif. Disamping itu terlihat juga bahwa memakan uang dari pihak lain mengimplikasikan ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban setiap pihak.
c. Normal Exchange
Pertukaran barang dan jasa, akan mendapatkan keuntungan dan kepuasaan bagi kedua belah pihak. Dalam teori ekonomi mikro lebih dikenal dengan istilah utility dan profit maximis. Hal ini dapat dicapai jika marginal utility (kepuasaan maksimum) yang dirasakan konsumen lebih besar dibandingkan harga barang yang dibeli dan biaya marginal kurang dari harga barang yang dijual.
Berdasarkan asumsi diatas, jelas bahwa tujuan konsumen rasional dari kegiatan konsumsinya adalah memaksimumkan kepuasaan materiil saja. Berarti seorang konsumen dalam mengkonsumsi barang atau jasa sehingga memperoleh kepuasaan selalu menggunakan kerangka rasionalitas (bersifat duniawi). Dan dari pandangan lain utiliti ekonomi bukanlah suatu sifat yang selalu muncul dari asal barang dikonsumsi, tetapi barang tersebut benar-benar diperlukan dan digunakan serta dapat bermanfaat.
Dimana menurut Islam pertukaran barang dan jasa dapat terjadi dalam teori konsumsi tujuannya adalah untuk memperoleh maslahah terbesar, sehingga ia dapat mencapai kemenangan dunia dan akhirat serta kesejahteraan jadi tidak hanya kepuasaan materiil saja. Dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemasalahatan, Imam Al-Ghazali mengelompokkan dan mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas, manfaat) maupun mafasid (disutilitis, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan. Jadi utilitas individu dalam islam sangat tergantung pada utility individu lainnya (interpendent utility) sehingga dapat terbentuk kemaslahatan.
d. Risk Concept
Para ilmuwan ekonomi membedakan istilah ketidakpastian dan risiko. Menurut Knight (1921) risiko menguraikan situasi dimana kemungkinan dari suatu peristiwa (kejadian) dapat diukur.
Karenanya, risiko ini dapat diperkirakan setidaknya secara teoritis. Sementara itu dalam paper al-Suwailem (1999-2000) menggunakan kata risiko untuk segala sesuatu yang tejadi secara tidak pasti di masa depan. Ia membaginya dalam 2 kategori, yaitu:
a. Pasive risk, yaitu risiko yang terjadi di mana benar-benar tidak terdapat perkiraan dan perhitungan yang dapat dipakai. Jadi, hal ini benar-benar suatu teka-teki yang sama sekali tidak diketahui jawabannya. Perkiraan atas risiko ini hanya mengandalkan keberuntungan (game of chance), karenanya seseorang hanya dapat bersifat pasif.
b. Responsive risk, yaitu risiko yang munculnya memiliki penjelasan kausalitas dan memiliki distribusi probabilitas. Risiko jenis ini, karenanya dapat diperkirakan dengan menggunakan cara-cara tertentu. Memperkirakan risiko responsive ini sering disebut pula game of skill, karena perkiraanya didasarkan atas skill tertentu.
Dalam Islam risiko bisa terjadi dalam sistem profit-share (bagi hasil) kontrak Mudharabah dan Musyarakah, tidak terdapat suatu fixed and certain return sebagaimana dengan konsep bunga, tetapi dilakukan loss and profit sharing berdasarkan produktifitas nyata dari dana tersebut. Meskipun nisbah bagi hasil disepakati pada saat awal, tetapi perolehan riil dari bagi hasil ini baru diketahui setelah dana benar-benar menghasilkan. Jadi, hal yang bersifat pasti dari sistem ini adalah nisbah bagi hasilnya, bukan nilai riil bagi hasilnya. Terdapat kemungkinan fluktuasi dalam bagi hasil yang nyata, tergantung pada produktifitas nyata dari pemanfaatan dana.
Berkaitan dengan risiko, dimana risiko responsif, yang memungkinkan adanya distribusi probabilitas hasil keluaran dengan hubungan kausalitas yang logis. Hal ini biasa diasosiasikan dengan game of skill. Hubungan antara game of chance dengan game of skill, menunjukkan hubungan suatu transaksi investasi itu halal atau haram (dibolehkan atau dilarang). Secara ringkas dapat disimpulkan dalam tabel sbb :
Tergantung pada hasil Tidak tergantung pada hasil
Dengan adanya upaya (game of skill) Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90 Diperbolehkan/ Lawfull
Tanpa adanya upaya (game of chance) Dilarang/Unlaw full (Q.S Al-maidah : 90 Diperbolehkan/ Lawfull
3. Gharar dan Zero Sum Game
Dalam literatur keuangan, umumnya risiko diukur dengan beta atau standard deviasi. Namun, besaran ini tidak dapat memberikan petunjuk mana yang gharar dan mana yang bukan. Oleh karena itu, dalam analisis ekonomi gharar dapat dijelaskan dengan ukuran objektifnya. Dengan perangkat game theory, dinyatakan bahwa “gharar is simply zero-sum game with uncertain pay off”.
Batasa gharar menurut al-suwaeilem tersebut dinyatakan dalam formula sbb:

Aturan expected utility tersebut akan menghasilkan pertukaran yang saling menguntungkan saat > 0. Dengan kata lain, ini adalah keadaan win-win outcome. Sementara kondisi zero sum game jika ≤ 0. ini juga berarti keadaan win lose outcome, yang berarti satu pihak memperoleh keuntungan pada saat yang sama pihak lain dirugikan. Hal ini terlihat adanya unsur gharar dalam transaksi pertukaran, bisa jadi kedua belah pihak akan mengalami keuntungan secara bersama dalam suatu transaksi dan bisa jadi juga kedua belah pihak akan mengalami kerugian secara bersama dalam suatu transaksi. Jika sudah dapat dipastikan satu pihak untung dan satu pihak lain dirugikan hal ini yang mengakibatkan ketidakjelasan dalam suatu sistem transaksi yang dijalankan. Padahal suatu usaha atau investasi bisa rugi dan untung.
Abbas Mirakhor dan Zamir Iqbal. Pengantar Manajemen Keuangan Islam dari Teori ke Praktik, edisi terjemahahan. Jakarta: Kencana, 2008.
Yasni, Gunawan. Kritik Syariah terhadap Transaksi Murabahah Commodity Bank-bank Asing. Mgyasni.niriah.com
Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2004. hal 193
al-Jamal, Muhammad Abdul Mun’im. Ensiklopedi Ekonomi Islam. Terjemahan. Selangor Malaysia: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1997. hal 555.
Adiwarman, Karim. Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. hal 62
Priyonggo & Yudho. Risk and Return Analysis of Investment on Islamic Banking: The Application of VaR and RAROC Methods on Bank Syariah Mandiri. Kolokium SBM ITB, Oktober 2008.
Muhammad. Kontruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2005.
M. B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, cet. I (Yogyakarta: EKONOSIA, Oktober 2003), hal. 250
Muhammad. Dasar-dasar Keuangan Islam. Cet pertama. Yogyakarta: Ekonisia FE UII, 2004. hal 107.
Muhammad. Dasar-dasar Keuangan Islam, cet pertama. Yogyakarta: Ekonosia FE UII, 2004. hal 108.

Senin, 29 Juni 2009

explorasi sumber-sumber pemikiran ekonomi islam

EKSPLORASI SUMBER-SUMBER PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM
Sebagian besar doktrin-doktrin dogmatis dan teologis yang muncul dalam Islam pada pokoknya mempunyai asal usul politis, yang berasal dari peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada awal sejarah Islam. Hal tersebut telah berimplikasi besar terhadap pemahaman agama serta berpengaruh luas dalam kehidupan sosio-ekonomi masyarakat muslim, belum lagi kondisi yang diakibatkan oleh kejahatan kolonialisme, generasi yang hilang akibat perang dan doktrin kapitalisme yang telah akrab dengan aktifitas ekonomi mereka. Oleh karenanya perlu adanya upaya-upaya yang mengarah pada gerakan purifikatif yang memberikan referensi positif dalam program-program rekonstruksi internal dengan memberikan rumusan Islam yang positif dan aktual sehingga dapat mengapresiasi arus modernitas global dengan baik serta tidak kehilangan arah. Gerakan purifikatif ini dimaksud adalah merekonstruksi rumusan Islam dengan memberikan nilai-nilai moral dan religius yang terintegrasi ke dalam syari’ah serta termanifestasikan dalam tatanan kehidupan sosio-ekonomi masyarakat muslim era modernitas global. Dengan begitu akan terbangun kultur ataupun terbentuknya peradaban yang pada hakikatnya merupakan pengembangan dari kesadaran egonya yang dijiwai oleh spirit dan pengalaman keagamaan serta merujuk pada sumber-sumber Islam yang asasi yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi, di samping legislasi hukum dan pemikiran yang telah diberikan oleh para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in sebagai perwujudan suatu kultur dan peradaban yang sehat serta berakar kokoh dalam proses kesejarahan, tidak terkecuali dalam pemikiran ekonomi Islam.

al-Qur’an sebagai Sumber Asasi
Al-Qur’an yang turun dalam dua periode, Makkiyah dan Madaniyyah, diturunkan tidak semata-mata mengandung sentakan dan dorongan moral serta seruan-seruan religius melainkan juga menjadi petunjuk, pedoman dan pengarahan bagi penyusunan suatu tatanan masyarakat yang aktual. Bagi al-Qur’an sendiri, dan konsekuensinya juga bagi kaum muslimin, al-Qur’an adalah firman Allah. Nabi Muhammad juga betul-betul yakin bahwa beliau telah menerima wahyu dari Allah secara verbal dan bukan hanya dalam makna dan ide-idenya saja dengan otoritas mutlak (QS. 42 : 51-52).
Semangat dasar dari al-Qur’an adalah semangat moral, darimana ia menekankan monotheisme serta keadilan sosial. Hukum moral adalah abadi, ia adalah ‘perintah’ Allah. Manusia tidak dapat membuat atau memusnahkan hukum moral, bahkan ia harus tunduk dan berserah diri kepadanya. Ketundukan dan penyerahan diri ini dinamakan Islam dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari disebut dengan ibadah atau pengabdian kepada Allah. Tetapi hukum moral dan nilai-nilai spiritual untuk bisa dilaksanakan harus diketahui terlebih dahulu. Dan untuk itu, padahal kekuatan persepsi kognitif setiap orang adalah tidak sama dan memiliki tingkatan yang berbeda, tidak terbatas, begitu pula dengan persepsi moral dan religius. Oleh karenanya, diutus seorang rasul yang keseluruhan karakter dan perilaku aktualnya adalah jauh lebih tinggi dari manusia pada umumnya sehingga dipandang bebas dari kesalahan-kesalahan yang serius lagi fatal (ma’shum), itulah Muhammad saw. dan hanya beliau satu-satunya manusia seperti itu yang dikenal dalam sejarah. Itulah sebabnya seluruh perilakunya dipandang oleh kaum muslimin sebagai sunnah atau model yang sempurna (uswatun hasanah).
Sebagai sumber moral dan ide-ide keadilan sosial dan ekonomi, al-Qur’an sedikit demi sedikit menggariskan pandangan dunianya lebih lengkap, maka tertib moral pada manusia sampai pada titik sentral dari kepentingan Ilahi dalam sebuah gambaran yang penuh dari suatu tata kosmis yang tidak hanya mengandung sensivitas religius yang tinggi, tetapi juga memperlihatkan tingkat konsistensi dan koherensi yang mengagumkan. Suatu konsep tentang Tuhan, pencipta mutlak alam semesta, dikembangkan, dimana sifat-sifat kreatifitas, ketertiban dan rahmat tidak hanya terletak berdampingan atau ditambahkan satu pada yang lain saja, tetapi saling terkait erat satu dengan lainnya.
Sesungguhnya, kesan yang paling intens dan meninggalkan bekas di dalam sanubari orang yang membaca al-Qur’an adalah bukan eksistensi Tuhan yang selalu mengawasi, merampas dan menghukum tetapi adalah suatu kehendak yang bertujuan dan terpadu yang menciptakan tata tertib di alam semesta : sifat-sifat kekuasaan atau keagungan, kewaspadaan atau keadilan serta kebijakan yang diatributkan sebagai sifat Tuhan di dalam al-Qur’an dengan penekanan yang jelas yaitu keteraraturan kosmos yang kreatif tidak terkecuali dalam sistem ekonomi.
Sistem ekonomi yang terkandung dalam al-Qur’an adalah merupakan jabaran dari wujud upaya memelihara ekosistem sehingga kelanggengan eksistensi sunnatullah tetap dapat terjaga. Secara tegas al-Qur’an telah memberikan berbagai batasan, keharusan dan pengaturan tentang aktifitas perekonomian dan keuangan, yang antara lain adalah :
a. Private ownership (hak-hak penguasaan faktor produksi atau kekayaan) dibenarkan akan tetapi penguasaan tersebut tidak bersifat mutlak, dan ada pengaturannya sebagai restriksi dalam kepemilikan di antaranya adalah :
1) Kepentingan masyarakat lebih diutamakan daripada kepentingan individu, adanya larangan akumulasi kekayaan dan kekayaan tidak boleh terkonsentrasi pada sejumlah individu (QS. al-Taubah : 34, al-Hadid : 7, al-Baqarah : 278-279, al-Hasyr : 9);
2) Anjuran bekerjasama (co-operative) dan kerjasama produksi (QS.al-Zukhruf : 32);
3) Larangan pemanfaatan harta secara berlebihan (boros) dan cenderung melampaui batas (QS. Yunus : 7-8, al-Anfal : 28)
4) Larangan merusak human capital atau produksi atas dasar alasan apapun kecuali yang telah ditentukan oleh syara’ (QS. Bani Israil : 31, al-Maidah : 33);
5) Optimalisasi efektifitas pemanfaatan sumber daya (QS.al-Hijr : 21, Ibrahim : 32-34, al-Nahl : 10-11, 14, Faathir : 28 ).
b. Dibenarkan adanya perbedaan dalam upah sebagai refleksi dari perbedaan kemampuan, skill, latar belakang pendidikan dan lain sebagainya (QS. al-Taubah : 24);
c. Pemberlakuan zakat, infak dan sedekah sebagai social security dalam penataan kebijakan fiskal (QS. al-Baqarah : 43, 83, 110, 267)
d. Larangan bunga dan anjuran system loss and profit sharing dalam berbagai aktifitas ekonomi (keuangan, perdagangan, industri, pertanian dan lain sebagainya) karenang lebih adil dan ihsan (QS. al-Baqarah : 275-279; Ali Imron : 130)
Tegasnya, tuntutan dasar al-Qur’an di bidang ekonomi adalah tegaknya suatu tatanan kemasyarakatan yang berlandaskan moral, yang bertujuan merealisir nilai-nilai keadilan ekonomi dan sosial.

Diharapkan redisposisi dan reinterpretasi produk-produk pemikiran ekonomi melalui proses eksplorasi dan elaborasi sumber-sumber Islam dan nilai kesejarahan akan mampu menguak beberapa permasalahan ekonomi umat beserta permasalahannya masa mendatang. Sebab penyusunan kembali terhadap studi tentang isu ekonomi dalam pandangan syari’ah yang berangkat dari penafsiran para sahabat Nabi dan generasi sesudahnya yang mengikuti mereka terhadap ilmu ekonomi yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah merupakan solusi alternatif yang selaras dengan latar belakang historis, aspirasi dan karakter sikap moral masyarakat muslim ( lihat gambar I ).









Gambar I
Gagasan Dasar Analisis Historis dan Redisposisi Produk
Pemikiran Ekonomi Islam serta Peranan Negara

+













Pengembangan Aplikasi











Lain daripada itu, sebagai bagian dari upaya pembentukan centre of excellent dalam pengembangan warisan produk pemikiran ekonomi Islam ke depan, ada tiga sokoguru utama yang menjadi target operasi kaji-tindak (action research) dalam mengembalikan tatanan keadilan sosio-ekonomi masyarakat muslim yang berakar mendalam pada sejarah Islam dan sesuai dengan zaman keemasannya. Dan berangkat dari ketiganya pula, maka diharapkan konsep-konsep ekonomi yang berdimensi ketuhanan tersebut akan lebih “membumi” dan sanggup berasimilasi dengan kekuatan konsep yang sudah ada serta bermetamorfosis menjadi solusi alternatif terbaik dalam menata kondisi sosio-ekonomi dunia Islam yang kurang menguntungkan dewasa ini ( lihat gambar II ). Adapun tiga sokoguru dimaksud adalah :
Gambar II
Tauhid, Persaudaraan & Etika : Dasar Tatanan Fundamental Ekonomi Islam

+

















* Perencanaan * Larangan Riba
* Pengawasan * Larangan Akt.
* Kepemilikan * Kepemilikan Non-produktif
* Hasil * Larangan
* Resiko Spekulasi * Penerapan Hukum Waris
* PendayagunaanZIS
* Qardhul Hasan


* Mudharabah
* syirkah
* Korporasi * Tdk tamak * Halal
* Tdk kikir * Thoyyib
* Tdk isrof & tabdzir









Tema-tema Ekonomi Dalam Ayat Al-Quran
a. Private ownership (hak-hak penguasaan faktor produksi atau kekayaan) dibenarkan akan tetapi penguasaan tersebut tidak bersifat mutlak, dan ada pengaturannya sebagai restriksi dalam kepemilikan di antaranya adalah :
1) Kepentingan masyarakat lebih diutamakan daripada kepentingan individu, adanya larangan akumulasi kekayaan dan kekayaan tidak boleh terkonsentrasi pada sejumlah individu (QS. al-Taubah : 34, al-Hadid : 7, al-Baqarah : 278-279, al-Hasyr : 9);


1. QS At-taubah ayat 34
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِّنَ اْلأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَن سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَيُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ {34}

اْلأَحْبَارِ = Pendeta-pendeta
َالرُّهْبَان = Rahib Yahudi
أَمْوَالَ النَّاسِ =Harta manusia
بِالْبَاطِلِ = Dengan cara atau jalan yang melanggar syariat
يَكْنِزُون =Menumpuk, menimbun
َ الذَّهَبَ =Emas
وَالْفِضَّة =Perak
وَلاَيُنفِقُونَ = Dan tidak menafkahkannya
فِي سَبِيلِ الله =Jalan Allah
فَبَشِّرْ =maka beri kabar
هُم =mereka
بِعَذَابٍ أَلِيم =dengan azab yang pedih

Makna Ayat:
Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya banyak dari pendeta dan rahib yahudi itu memakan harta orang lain dengan jalan yang batil
Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan hartanya pada jalan Aallah, maka beri tahukanlah kepada mereka (bahwa meraka akan mendapat) siksa yang pedih.
Makna Global:
Islam mengharamkan seseorang menimbun Harta, Islam mengancam mereka yang menimbunnya dengan siksa yang sangat pedih kelak di hari kiamat. Menimbun Harta maksudnya membekukannya, menahannya, dan menjauhkannya dari peredaran. Penimbunan harta menimbulkan bahaya besar terhadap perekonomian dan terhadap moral.
Penimbunan Harta mempengaruhi perekonomian sebab sekiranya harta disimpan dan tidak ditahan, tentu ia ikut andil dalam usaha-usaha produksif, misalnya dalam merancang rencana-rencana yang baru dan dapat menyelesaikan masalah penggauran atau sekurang-kurangnya mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru dalam berbagai pekerjaan menyebabkan terjadinya rantai perekonomian yang penting. Juga kesempatan-kesempatan ini menambah pendapatan, yang akhirnya menyebebabkan meningkatnya daya beli masyarakat. Hal ini mendorong meningkatnya produksi baik membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana-rencana yang telah ada untuk menutupi kebutuhan permintaan yang semakin meningkat yang disebabkan oleh bertambahnya pendapatan. Meningkatnya produksi ini tentu saja menuntut pekerja-pekerja baru yang memperoleh pendapatan baru dan menambah daya beli masyarakat, suatu hal yang termasuk menyebabkan terciptanya situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.



2. QS Al-Hadiid ayat 7

ءَامِنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَأنفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُم مُّسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَأَنفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ {7}

Artinya :
Berimanlah kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta mu yang telah menjadikan kamu menguasainya. (QS Al-Hadiid ayat 7)

Manusia diperintahkan oleh penciptanya, empunya Harta itu, untuk memanfaatkan Harta untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhanya dan memperabaiki hidupnya dengan cara yang tidak bertentangan dengan kemaslahatan masyarakat temapat ia tinggal. Diterangkan juga bahwa manusia suatu saat kelak akan berdiri di hadirat Allah untuk memperhitungkan atas perbuatan yang pernah ia lakukan terhadap hartanya. Maka apabila manusia itu tidak melaksanakan kewajiaban-kewajiabannya dan tidak mematuhi perintah-perintah penciptanya. Pemilik harta itu maka Negara berkewajiban untuk bercampu tangan mengembalikannya kepada yang baik dan jalan yang benar, seperti bila ada orang menghambur-hamburkan hartanya atau memberikan hartanya kepada orang yang belum sempurna akalnya.

3. QS Al-Baqarah Ayat 278-279

يَآأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوا مَابَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ {278} فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ {279}


َ4. QS Al Hasyr Ayat 7
مَّآأَفَآءَ اللهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لاَيَكُونَ دُولَةً بَيْنَ اْلأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ {7}