Sabtu, 27 Juli 2013

TUHAN DAN BENCANA REPLEKSI DAN RESPON TEOLOGIS MUSLIM TRADISIONALIS TERHADAP BENCANA BANJIR DI DESA SARANG BURUNG KABUPATEN MUARO JAMBI

Bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang 2009 hingga 2010 didominasi akibat banjir dengan prosentase sebanyak 60 persen disusul oleh longsor, gempa bumi dan tsunami , Banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan sungai. Di banyak daerah yang gersang di dunia, tanahnya mempunyai daya serapan air yang buruk, atau jumlah curah hujan melebihi kemampuan tanah untuk menyerap air. Ketika hujan turun, yang kadang terjadi adalah banjir secara tiba-tiba yang diakibatkan terisinya saluran air kering dengan air. Banjir semacam ini disebut banjir bandang . Kini Banjir tidak hanya menjadi langganan tahunan bagi masyarakat yang hidup di daerah aliran sungai batang hari, pada bulan januari banjir melanda Provinsi jambi dengan menengelamkan rumah sebanyak 5.864 rumah di Kota Jambi dan tergenang air akibat banjir yang melanda Kota Jambi selama dua pekan pada awal tahun 2010, terutama rumah warga yang berada di bantaran sungai Batanghari . Dari kenyataan di atas, maka jelaslah bahwa dalam tinjauan sosiologis, sejumlah bencana yang menimpa bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari sikap serta tingkah laku individu-individu masyarakat negeri ini. Selagi individu-individu masyarakat negeri ini tidak mengubah sikap serta tingkah lakunya menuju arah yang lebih baik, maka sejumlah musibah lainnya siap menanti kita. Bukankah segala kerusakan di langit dan di bumi terjadi akibat kelalaian manusia itu sendiri? Sebuah refleksi cultural masa lalu, dimana Orang tua kita sering kali melarang dengan dogmatisasi ‘pamali’ melakukan aktivitas membawa dan mencuci peralatan dapur di sungai. Pesannya, bahwa “penjaga sungai akan marah bahkan bisa mencelakaimu”. Sepintas dengan nalar seorang anak yang masih kecil, mempercayainya dan ikut mewariskan pesan itu kepada generasinya. Ini merupakan cara moyang kita mengapresiasi dan menjaga kelestarian dan kelangsungan hidup ekosistem dan seluruh elemen yang berkepentingan pada sungai. Sisa makanan dan minuman yang melengket pada peralatan dapur dikhawatirkan dapat meracuni mahluk hidup di sungai dan akan mengotori kebersihan air sungai. Pesan tersebut seharusnya mensugesti cara pandang di masa kini, bahwa jika sisa makanan dan minuman saja tidak diperbolehkan mengotori sungai, seharusnya pembabatan hutan dan penumpukan sampah di hulu dan hilir tidak dilakukan. Karena secara perlahan tapi pasti dapat menimbulkan ketidak-seimbangan kehidupan manusia itu sendiri. Selain itu fungsi agama membantu manusia dalam kebingungan dunia dan menawarkan jawaban tentang berbagai permasalahan, juga memberikan kekuatan moral . Agama sebagai tempat pelibur lara dan tempat berkeluh kesah dalam kesulitan hidup. Sehingga dalam menghadapi Bencana agama menempatkan posisinya di garda depan, namun dalam kenyataan agama juga dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk melegitimasi bahwa bencana adalah kehendak tuhan, sikap fatalistik yang kemudian digerakkan untuk menjustifikasi kebenaran yang subjektif kekuasaan. Dalam tinjauan teologis as’ariyah difahami selain Tuhan, semua sesuatu itu adalah mahluk. Bencana adalah mahluk Tuhan, sehingga amarah terhadap bencana indentik dengan menghindari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Dalam pandangan sufistik, kehadiran musibah, penganiayaan atau kematian, justru disikapi dengan ungkapan alhamdulillah, dilanjutkan dengan innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Memuji kebesaran dan kekuasaan Tuhan atas segala sesuatu, bahwa DIAlah yang paling berhak atas semuanya ini. Segalanya dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Bersabar dan ikhlas menerima segala ketentuan Tuhan termasuk bencana, di sisi lain dianggap sebagai salah satu cara Tuhan meningkatkan dan mengangkat derajat kemanusiaan di hadapan Tuhan . Bahkan bencana atau musibah yang menimpa umat manusia adalah kehendak mutlak Tuhan, yang sering disebut dengan istilah takdir. Memang, kata ‘takdir’ seringkali diasosiasikan dengan nada sumir, pejoratif dengan konotasi negatif. Pada hakekatnya, harus disadari bahwa Tuhan tidak akan pernah berbuat aniaya terhadap hamba-Nya. Hal ini ditegaskan dalam sejumlah firman-Nya. Semua yang terjadi dan menimpa manusia merupakan akibat dari ulah manusia sendiri. Inilah yang kemudian disebut dengan ‘hukum alam’, atau dalam bahasa agama dikenal dengan istilah ‘sunnatullah’. Dan Tuhan hanya menjalankan hukum alam tersebut. Di sinilah, ada ruang ikhtiar (baca: usaha) manusia untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya suatu bencana . Tak dapat dipungkiri memang, Tuhan punya hukum-Nya sendiri. Tetapi, seperti ditegaskan dalam sejumlah referensi agama, manusia diberikan ruang gerak untuk mengubah kehidupannya. Untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, menghindari kemungkinan terjadinya bencana, dan mengantisipasi hal terburuk yang mungkin menimpanya. Dalam realitas sosial, munculnya sejumlah bencana tidak bisa dipisahkan dari sikap serta tingkah laku individu-individu dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, serangkaian bencana alam seperti banjir, tanah longsor, serta semburan lumpur panas, menunjukkan kecerobohan individu-individu terkait dalam serangkaian peristiwa tersebut. Sejarah perkembangan peradaban manusia pada mulanya memiliki sikap dan kepercayaan akan ketertundukan dan ketergantungannya pada alam. Para arkeolog dan filolog (peneliti teks-teks kuno) menunjukkan bahwa manusia sangat takut dan begitu memuliakan alam. Bahkan sebagian diantaranya rela dijadikan sebagai persembahan (dibunuh) dengan tujuan agar alam tidak marah dan kehidupannya tetap bisa berjalan normal. Ritual ini dilakukan ketika terjadi bencana seperti gunung meletus, banjir, hasil tanamannya rusak dan lain sebagainya. Sistem kepercayaan seperti ini disebut animisme atau dinamisme. Sebuah kepercayaan yang menjadikan unsur-unsur alam sebagai ‘Tuhan’. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, peradaban kita terjebak pada cara pandang yang materialis pragmatis . Pada tataran tertentu bencana banjir yang telah seringkali menimpa provinisi jambi, dengan korban jiwa dan material yang tak terhitung jumlahnya, tidak selamanya harus diratapi apalagi menjadi manusia fatalistik, akan tetapi bencana banjir pun mampu menjadi media untuk meningkatkan proses pengenalan dan kesepahaman dengan Tuhan. Namun masalahnya, dampak yang ditimbulkan oleh bencana banjir, tidak serta merta selesai dengan sikap mengembalikannya pada Tuhan. Namun berlanjut pada sikap menggugat Tuhan atas bencana banjir yang mereka alami, varian teologis yang bagi amsyarakat pedesaan dan daerah aliran sungai yang secara budaya merupakan muslim tradisionalis dan mata pencaharian mereka bercocok tanam padi dan palawija di pinggrian sungai dan secara historis merupakan tradisi nenek moyang mereka. Lahan tersebut sebagai tanah wilayat yang turun temurun diwarisi oleh nenek moyang mereka. Melakukaknnya dengan bantuan irigasi sederhana dan sebahagian lagi adalah masyarakat yang membudidayakan ikan air tawar dengan media keramba terapung, jika saat banjir tiba keramba akan ditarik ke tepi secara bergotong royong dan jika air telah kembali normal mereka pun bersama-sama melaut keramba tersebut, hal ini yang sering kali meraka rasakan dalam setahun ini. Akibatnya Berbeda dengan kebanyakan faham teologi yang dianut oleh masyarakat muslim sunni, banjir seringkali terjadi dalam 2 tahun belakangan di kabupaten muaro Jambi, sehingga memberikan wacana tentang teologi yang berbeda, sikap non fatalitik muncul dan tidak dapat terbendung, ekpresi bencana banjir tersebut tidak hanya dipresentasikan melalui sikap namun juga telah mengarah pada ucapan-ucapan non fatalistic. Ucapan-ucapan non fatalistic tersebut merupakan respon teologis dalam memaknai Tuhan pemberi bencana, tanpa melihat siapa korbanya, sehingga menggugat sifat-sifat ketuhanan sebagai ekpresi kecewa terhadap bencana yang dtimpakan oleh Tuhan. Muaro Jambi secara historis adalah masyarakat melayu muslim yang menjunjung adat dan budaya, yang bercerminkan pada pepatah adat yang saat ini tetap diyakini dan diamalkan. Pepatah yang mengatakan adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah, yang kemudian mengrepleksi respon teologis yang selama ini difahami dari kitabullah bahwa bencana adalah merupakan ujian, cobaan dan azab Tuhan kepada manusia yang ingkar.

GAYA HIDUP SEBAGAI MOTIVASI RELIGIUSITAS

Kenyataan pengaruh globalisasi dan pascamodernisme di masyarakat hari disebabkan dunia barat yang mulai tergeser dan runtuhnya klasifikasi barat sebagai tanda-tanda pascamodernisme yang didukung penampilan dan status budaya pop terakselisasi oleh media eletronik hingga tidak ada pembeda budaya rendah, budaya tinggi, batas-batas estetika, kebudayaan dan perdagangan yang menghasilkan estetisasi secara umum dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidup (life style) tidak hanya menjadi bagian dari pengalaman umum kontemporer namun juga sebagai central utama dari budaya konsumen kontemporer. Gaya hidup (life style) dan modernitas sebagai pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain, kemudian diartikan sebagai cara hidup seseorang atau kelompok orang, seperti tempat hidup, barang-barang yang mereka miliki, pekerjaan mereka, aktivitas yang menyenangkan bagi mereka. Cara hidup seseorang atau sekelompok orang itu bermacam-macam bagi masyarakat tradisional mereka memiliki kehidupan yang natural, teratur, dengan tidak terkebiri sebagaimana masyarakat modern. Gaya hidup (lifestyle) dan modernitas bagian dari kebutuhan sekunder manusia yang berubah tergantung keinginan seseorang. Istilah gaya hidup pada awalnya dibuat oleh psikolog Austria, Alfred Adler, pada 1929. Pengertiannya yang lebih luas, sebagaimana dipahami pada hari ini, mulai digunakan sejak 1961. Gaya hidup sebagai konsep sering dianggap sebagai pilihan bebas sebagaimana konsumen barang-barang, layanan-layanan, dan praktek-praktek yang dikontruksikan dengan ide kebebasan pilihan di dalamnya. Gaya hidup sebagai cara ketika identitas-identitas seseorang dimediasi dengan teori yang signifikan dari gaya hidup (life style), sebagai kajian sosiologi atau kajian budaya (cultural studies) gaya hidup sering berhubungan dengan sosial, ekonomi dan perubahan-perubahan budaya. Secara bahasa kata Style (gaya) berasal dari bahasa latin, stilus, yang berarti peralatan menulis, dengan gaya yang dimaksudkan adalah bentuk konstan dan terkadang berbagai elemen, kualitas dan expresi konstan dalam seni individual atau kelompok di atas semuanya, gaya adalah system bentuk …deskripsi gaya merujuk kepada tiga aspek seni: motif atau elemen bentuk, berbagai hubungan bentuk dan kualitas (termasuk seluruh kualitas yang disebut ekpresi). Dalam budaya konsumen kontemporer, gaya hidup dikonotasikan dengan individualitas, expresi diri, kesadaran diri yang stilistik, Tubuh, busana, bicara, hiburan saat waktu luang, pilihan makanan, minuman, rumah, kendaraaan, pilihan liburan, dan seterusnya dipandang sebagai indicator dari individualitas selera serta rasa gaya dari pemilik atau konsumen. Sedangkan Sobel bahwa gaya hidup adalah setiap cara kehidupan yang khas, dan karena itu dapat dikenali. Menyebut perilaku konsumtif sebagai struktur tradisional masyarakat telah terkikis dengan perubahan struktur tersebut dan berganti dengan pilihan imperative sebagai dasar budaya konsumen yang distintive dan menjadi praktek identitas gaya hidup konsumtif. Gaya hidup memberikan kontribusi teoritik pada studi kelas menengah yang lahir disebabkan oleh kehadiran tata produksi kapitalisme sebagai tata produksi dominan dan mendapatkan hak-hak istimewa yang diproduksi oleh kelas dominan yang bukan lagi sebagai agen perubahan. Nikolai Tilkidjiev memberikan klasifikasi kelas menegah yang bercirikan pada tiga perbedaan yaitu ekonomi (harta), organisasi (kekuasaan) dan budaya (pendidikan, kualifikasi, keahlian). Klasifikasi ini tidak sebebas dari persoalan pilihan gaya karena klasifikasi tersebut telah bercampur baur dan terkadang dipakai bergantian dalam gaya hidup. Gaya hidup ditawarkan lewat iklan, misalnya cenderung lebih beragam dan bebas mengambang sehingga tidak lagi dibatasi milik kelas menengah tertentu tapi telah menjadi central yang mudah ditiru, dijiplak dan dipakai sesuka hati oleh setiap orang. Dalam kajian budaya perkotaan, Irwan Abdullah, kota dengan consumer space diperuntukan bagi kelas menenengah baru sebagai tanda transformasi sosial perkotaaan dengan proses konsumsi simbolis dan transformasi estetis. Proses konsumsi simbolis sebagai tanda penting dari pembentukan gaya hidup yang simbol konsumsi lebih ditekankan dari pada fungsi dan utilitas komoditas yang dikonsumsi yang dimaksud agama sebagai komodivikasi gaya hidup. Gaya hidup konsumtif juga telah memelihara keberlangsungan dominasi ideologi kapitalis seperti citra-citra kebahagian matrealisme, menjadi manusia modern, dll. Yang dikontruksikan dengan berbagai alat dan jaringan komunikasi yang menglobal ke seluruh dunia, termasuk indonesia. Kemudian terjadilah transformasi sosial yang luas yang belum pernah dibayangkan. Transformasi sosial itu juga berdampak pada transformasi perilaku sosial keagamaan yang sejatinya agama merupakan pondasi dan tuntunan hidup (way of life) yang akan membawa manusia pada kehidupannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral yang terlihat dari perilaku kehidupannya. Sehingga gaya hidup dewasa ini bukan lagi komoditi orang-orang berduit, kelas menengah, selebritis dan orang sukses karena persoalan gaya hidup tidak sesederhana seperti halnya potret kehidupan mereka. Banyak juga orang-orang miskin yang mencomot dan mengunakan gaya hidup tertentu. Karena pilihan gaya bukan saja karena uang dan perilaku konsumsi namun lebih pada pilihan gaya. Seperti halnya bersepeda menjadi life style dalam olah raga, hal ini bukan melulu persoalan mengikuti kampanye penghematan energi ataupun global warming tetapi karena pilihan gaya. Soal cita rasa dan gaya hidup tidak lagi memiliki batas strata sosial. Namun telah menjadi lintas kelas dalam struktur masyarakat. Namun dalam kenyataan persemaian keindahan, kebahagian, kesuksesan seseorang dewasa ini diukur dengan bagaimana dan apa yang mereka konsumsi sebagai gaya yang menandakan diri mereka. Persemaian keindahan, kebahagian, kesuksesan seseorang dalam proses konsumsi simbolis cenderung menegaskan aspek estetisasi dalam kehidupan kelas menengah, kecenderungan ini dapat dilihat dari tiga proses. Pertama, hidup di perkotaan telah menjadi suatu proses seni yang bertumpu pada the work art dengan penegasan nilai-nilai khusus di mana penambahan gaya pada tiap bidang penampilan dan kebiasaan merupakan cara untuk menyesuaikan diri. Seperti perilaku makan dan rekreasi sebagai bagian dari proses estetis dengan penekanan pada simbol nilai dari pada nilai kegunaan dan mendorong redefenisi etika dalam kehidupan kolektif. Dalam artikelnya, "A Social Critique of Radio Music" (1945), Theodor W Adorno, salah seorang tokoh Mazhab Frankfurt, mengajukan beberapa aksioma yang penting menandai lahirnya apa yang disebutnya "masyarakat komoditas" (commodity society) yang di dalamnya kebudayaan pop menampakkan perkembangan luar biasa. Kalau hal ini kita kaitkan dengan fenomena "masyarakat komoditas" Indonesia, barangkali dengan dukungan industri kebudayaan untuk publik massa baru yang ditandai menjamurnya penerbitan majalah populer, televisi swasta, perumahan mewah, kawasan wisata, pusat hiburan, dan perbelanjaan modern seperti mall atau berbagai macam industri hiburan lainnya, maka aksioma yang diajukan Adorno berikut bermanfaat untuk disimak. Pertama, masyarakat komoditas adalah masyarakat yang di dalamnya berlangsung produksi barang-barang, bukan terutama bagi pemuasan keinginan dan kebutuhan manusia, tapi demi profit atau keuntungan. Dalam pandangan Adorno, di dalam masyarakat komoditas, kebutuhan manusia terpuaskan hanya secara insidental. Kondisi produksi yang mendasar ini lantas mempengaruhi tidak hanya bentuk dari suatu produk, tapi juga hubungan antarmanusia. Kedua, Dalam masyarakat komoditas, muncul kecenderungan umum ke arah konsentrasi kapital yang luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa yang dimonopoli dari barang-barang yang distandarisasi. Kecenderungan itu menurut Adorno, akan benar-benar terjadi teristimewa terhadap industri komunikasi. Ketiga, hal yang lebih sulit dihadapi masyarakat kontemporer adalah meningkatnya tuntutan terus-menerus, sebagai kecenderungan umum dari kelompok yang lebih kuat untuk memelihara, melalui semua sarana yang tersedia, kondisi-kondisi dari relasi kekuasaan dan kekayaan yang ada dalam menghadapi ancaman-ancaman yang sebenarnya mereka semai sendiri. Keempat, karena dalam masyarakat kita kekuatan-kekuatan produksi sudah sangat maju, dan pada saat yang sama, hubungan-hubungan produksi terus membelenggu kekuatan-kekuatan produksi yang ada, hal ini membuat masyarakat komoditas--menggunakan istilah Adorno - "sarat dengan antagonisme" (full of antagonisms). Antagonisme ini tentu saja tidak terbatas pada "wilayah ekonomi" (economic sphere) seperti yang sudah umum diakui, tapijuga mendominasi hingga ke "wilayah budaya" (cultural sphere) yang masih sulit diterima orang kebanyakan. Sebagai fakta dalam ritual keagamaan disubversi untuk kampanye dan iklan komoditas-komoditas dimotivasi ekpresi diri, sejatinya ritual agama dan kegiatan seremoni memberikan pengalaman terhadap pengamalan nilai-nilai agama bagi kehidupan manusia baik orang perorang maupun dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat, selain itu agama juga telah terkikis untuk memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari. Kemajuan ekonomi seperti yang terjadi dewasa ini dan kebutuhan psikologis yang dibutuhkan umat beragama dilihat dari aspek kemanusian sebagai mana manusia yang mengagungkan kesenangan dan kebahagian dalam setiap perilaku dan tindakan konsumsi mereka dalam mencapai maslahah, kebahagian dan prinsip-prinsip kebahagian (principle of utility) sebagaimana Jeremy Betham dan john’s mill. Kemudian agama yang biasanya meresepkan pengikut mereka untuk menampilkan perilaku yang berbeda dalam konsumsi, produksi, dan pertukaran. Meskipun beberapa pengikut agama tidak dapat mengamati perilaku yang ditentukan secara tegas dan mungkin ada beberapa nonreligius individu yang mungkin juga akan menampilkan pola yang sama, bahwa semua pengikut biasanya mengamati pola yang sama tetapi dengan berbagai tingkat kepatuhan tetap menunjukkan sumber perilaku komitmen yang berasal dari keyakinan agama. Sebagai contoh maraknya popularitas busana muslim di kalangan perempuan kelas menegah atas perkotaan terjadi paling kurang pertengahan tahun 1980-an. Berdasarkan penelitian Brenner menjelaskan perempuan-perempuan ini adalah objek dari penindasan ekternal dan bahwa pilihan mereka adalah dampak dari sebuah sistem yang didominasi oleh lelaki, namun kemudian brenner menunjukkan pilihan tersebut terjadi merupakan bagian dari proses penyadaran diri (self awarenness) dan rekontruksi diri sosial (social self-recontruction). Jilbab secara tradisional mengandung makna religiusitas (keberagamaan) seseorang perempuan, namun kini jilbab telah menjelma pada fashion (fashionabel) yang terjebak pada ekpresi diri dan ekpektasi tradisional tadi. Seharusnya agama merupakan sebuah sistem kepercayaan (belief system) dan menjadi acuan moral bagi tindakan manusia, Akan tetapi, tidak ada definisi (agama) yang benar-benar memuaskan. Light, Keller dan Calhoun memilih untuk memusatkan perhatian pada unsur dasar yang dijumpai pada agama, yaitu: Pertama, kepercayaan agama. Kedua, simbol agama. Ketiga, praktik agama (seperti berdoa, bersembahyang, berpuasa dan sebagainya). Dari praktik disini nampak bahwa disamping mengamati banyaknya orang yang menjadi umat suatu agama, maka dalam mempelajari agama kita perlu pula memperhatikan tingkat ketaatan beragama. Keempat, umat agama. Kelima, pengamalan keagamaan. Menelaah lebih lanjut mengenai fungsinya, agama sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan serta pemeliharaan masyarakat, artinya bahwa dalam mengatur kehidupan sosial agama memiliki kekuatan untuk memaksa dan mengikat masyarakat untuk mau mengorbankan kepentingan kepentingan pribadinya demi kepentingan bersama. Di lain pihak, agamapun berperan dalam membantu menciptakan sistem-sistem nilai sosial yang terpadu dan utuh dengan cara memberikan nilai-nilai yang berfungsi menyalurkan sikap-sikap para anggota masyarakat dan menetapkan isi kewajiban-kewajiban sosial mereka. Dalam memberikan pengukuhan nilai-nilai, agama memiliki kerangka acuan yang bersumber dari kekuatan adat yang bersifat absolut, karena di satu sisi masyarakat memiliki tujuan-tujuan dan berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan tepenting dari kehidupan sosial mereka. Tetapi di sisi-sisi lain mereka harus bisa menyesuaikan dengan nilai-nilai tersebut. Karena bagaimanapun juga nilai-nilai tersebut merupakan standar tingkah laku yang ideal yang membentuk nilai-nilai sosial yang sering dalam sosiologi disebut sebagai nilai-nilai sosial. Agama selain mempunyai peranan dalam masyarakat sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat dan melestarikan, namun ia juga memiliki tanggung jawab untuk meluruskan kaidah-kaidah yang buruk serta penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh umat manusia di muka bumi ini. Disamping itu, agamapun berfungsi untuk memberikan penyelamatan bagi laki-laki dan perempuan dan khususnya penyelamatan identitas personal atau jiwa yang melampaui kematian biologis. Gaya hidup konsumtif sebagai motivasi religiusitas, di mana gaya hidup, way of life, atau stylisasi konsumsi bertemu pada satu tujuan hakiki yaitu kebahagian (falah). Prinsip kebahagian dari jeremi Betham dan konsep maslahah dari As-shatibi dimodifikasi untuk menjelaskan penomena tindakan-tindakan religiusitas yang dimotivasi oleh gaya hidup.