Rabu, 17 Maret 2010

nalar fiqih

Jurnal Nalar Fiqh Juni 2009

JURNAL NALAR FIQIH

http://www.scribd.com/full/28494099?access_key=key-web8gt0yp6irgh69yot

Jumat, 19 Februari 2010

Transformasi Keagamaaan

Agama pada hakikatnya merupakan pondasi dan tuntunan hidup (way of life) yang akan membawa manusia pada kehidupannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral yang terlihat dari perilaku kesehariannya. Beragama bukan berarti persoalan ritual, namun juga persoalan moral dan etika, karena perilaku manusia sering diasumsikan orang sebagai manifestasi pemahamam beragamanya, bila pemahaman beragama itu lemah atau kuat, maka akan berpengaruh pada praktek dan perilaku kesehariannya.
Suatu kenyataan bahwa agama merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun secara berkelompok. Agama dan manusia ibarat dua sisi dari satu mata uang logam yang sama. Dari perumpamaan itu dapatlah disimpulkan bahwa manusia haruslah selalu beragama, tanpa agama kehidupan manusia senantiasa labil.
Seperti dikutip oleh Dadang Kahmad, menurut Cicero pembuat hukum Romawi, agama ialah anutan yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan. Adapun menurut seorang filosof kritikus dari Jerman, Emmanuel Kant, mengatakan bahwa agama ialah perasaan tentang wajibnya melaksanakan perintah-perintah Tuhan.
Menurut Redfield, bahwa agama adalah pengarahan manusia agar tingkah lakuanya sesuai dengan perasaan tentang adanya hubungan antara jiwanya dengan jiwa yang tersembunyi, memiliki kekuasaan di atas dirinya dan di atas sekalian alam, sedangkan dia rela untuk berhubungan dengannya dengan cara seperti itu.
Para ahli sepakat bahwa penguasaan agama hanya didominasi oleh manusia. Hal ini karena agama merupakan salah satu aspek yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Disamping itu, hanya manusia yang diangggap mempunyai dua unsur kehidupan, yaitu rohani dan jasmani. Kebutuhan manusia tidak hanya bersifat material biologis saja, seperti makan-minum, menikah dan bertempat tinggal, tetapi juga pemenuhan kepuasan rohani, yaitu rasa bahagia, berbakti, dan berkreasi.
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supranatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang perorang maupun dalam hubungannya dengan kahidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari.
Agama yang dianggap suatu jalan hidup bagi manusia (way of life) menuntun manusia agar hidupnya tidak kacau. Agama berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina hubungan dengan tuhan dan hubungan dengan sesama manusia dan dengan alam yang mengitarinya. Dengan kata lain, agama pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengatur untuk terwujudnya integritas hidup manusia dalam hubungan dengan Tuhan dan hubungannya dengan alam yang mengitarinya. Agama merupakan firman Tuhan yang diwahyukan kepada utusan-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia. Selaku titah dari Yang Mahakuasa yang terdapat di alam sana, wahyu diturunkan dalam makna yang paling tinggi, memakai simbol-simbol agung, dan manusia mencoba memahami dengan kadar kemampuannya yang sangat terbatas. Hakikat maksud firman itu hanya Tuhanlah yang tahu, sedangkan manusia hanya mencoba untuk mendekati kebenaran hakikat dari maksud keinginan tuhan tersebut.
Walaupun demikian pada sisi lain agama dalam struktur sosial yang banyak melahirkan kendala baik bagi kemajuan ekonomi seperti yang terjadi dewasa ini, yaitu struktur yang represif dan hanya melestarikan keterbelakangan, pandangan rasional tentang agama dengan berbagai kompleks transendentalnya, tidaklah menarik perhatian masyarakat, apa yang menarik bagi mereka dalam suasana keterbelakangan itu adalah agama kerakyatan dengan segala perangkat ritualnya. Agama adalah untuk melayani kebutuhan psikologis bagi kesengsaraan duniawi mereka.
Pengertian Agama yang demikian banyak ditemukan pada masyarakat pinggiran kota Jambi, agama menurut mereka adalah agama yang secara materi dapat menyelesaikan persoalan hidup yang mereka rasakan, tetapi juga dalam beberapa kesempatan penulis menemukan kelompok masyarakat yang memiliki pemahaman agama yang secara tradisi diwariskan oleh pendahulu mereka, pemahaman beragama yang telah membudaya ini membantu peneliti untuk melihat perubahan kehidupan beragama mereka.
Kedua, agama cenderung dianggap sebagai Ideology yang difahami sebagai agama acapkali adalah manifestasi dari sebuah ajaran nilai yang dijadikan landasan untuk melakukan perubahan di segala bidang. Tentu berbeda dalam kasus Islam, yang difahami orang-orang awam dengan yang difahami elitenya kontras karena pada pase ini agama sering dilakukan pengabsahkan pada setiap upaya pengkajian ulang ajaran-ajaran keagamaan yang diimani secara konsepsional. Karena tugas umat beragama di kemudian hari tinggal mengenali konsep-konsep tersebut menghapal sebisanya dan di atas segalanya adalah mengamalkan menurut tatacara yang diajarkan, tanpa melihat latar belakang historis dari suatu ajaran akan berakibat pada taklid buta dan menjadi kerangka yang kosong bahkan acap kali pemahaman yang dianggap benar itu menjadi sebuah ajaran yang “suci” dan tidak terbantahkan.
Dukheim mengambarkan agama adalah budaya, yang berarti agama merupakan kumpulan keyakinan yang menjadi warisan nenek moyang, hal itu berkaitan dengan perasaan-perasaan pribadi, sehingga sering kali terjadi mitasi terhadap modus-modus lama, bahkan agama-agama, ritual-ritual, aturan-aturan dan praktek-praktek yang secara sosial telah baku dan terus diwarisi oleh generasi selanjutnya.
Budaya dalam pengertian ini adalah ketidaksadaran kolektif dari suatu tradisi yang muncul, tumbuh dan terus diwarisi tanpa mengetahui akar historis dari suatu ajaran agama dan hakikat dasarnya pun akan hilang ditelan sejarah. Pemikiran ulama abad pertengahan bila tidak difahami secara kontektual akan mengakibatkan kesalahpahaman terhadap makna historis dari ajaran tersebut namun bila difahami konteks historisnya akan menemukan akar teologis yang akan melahirkan suatu penomena baru dalam pemahaman beragama saat ini.
Bila terus difahami ajaran-ajaran agama tersebut dalam konteks sekarang ini maka akan melahirkan sikap fanatisme, apatis, dan stagnan. Bahkan bila tidak direformulasi maka pemahaman agama tersebut bila dijalankan tidak memberi asar apa-apa karena penafsiran itu hanya bersifat seremonial saja dan jauh dari subtansi ajaran, karena suatu ajaran apalagi ajaran Islam harus menjadi rahmat bagi seluruh makhluk bumi, karena Islam adalah agama yang terakhir dan komprehensif tentu pemahaman beragamapun akan menyelesaikan banyak dari persoalan beragama di sinilah yang sering dikatakan dengan universalitas Islam.
Sehingga tidak menjadi kerangka yang kosong, apalagi agama hanya sekedar melengkapi status sosial seseorang saja yang sangat ironis adalah politisasi agama yang terus terjadi.
Pemahaman Umat terhadap agama adalah sebagai tempat pelibur lara, tempat berkeluh kesah dan dengan agama dapat menyelesaikan kompleknya permasalahan sehari-hari.
Sampai tahun 1990 masyarakat pinggiran kota Jambi memiliki kehidupan beragama yang religius, hampir tidak ditemukan kehidupan beragama yang tidak sesuai dengan ajaran agama, misalkan pada saat beduk magrib berbunyi umumnya masyarakat akan bersegera ke masjid, baik orang tua, pemuda dan bahkan anak-anak akan antusias melaksanakan sholat berjamaah di masjid.
Pada bulan romadhan, masyarakat akan antuisias melaksanakan sholat tarawih, tadarus al-Qur’an di Masjid dan bahkan setelah sahur mereka akan segera berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan sholat shubuh berjamaah, dan terkadang setelah sholat shubuh ada pengajian tujuh menit oleh Imam masjid.
Pada acara walimahtul ‘urs masyarakat akan mengundang kelompoknya untuk bersama-sama membaca tahlil, barjanji dan hiburan dengan menampilkan tim rebana tetapi saat sekarang praktek kebudayaan keagamaan tersebut telah pudar dan terjadi secara signifikan perubahan dalam level pemahaman hingga level pengamalan, hal ini terjadi tidak hanya di ibukota kabupaten bahkan telah merambah pada kecamatan dan bahkan pada level desa.
Dalam hal pengamalan beragama masyarakat pinggiran kota pada 1980 hingga tahun 1990 seperti memakai sarung dan penutup kepala dengan pakaian yang sesuai dengan tertib penampilan yang Islami, tidak ditemukan ke acara-cara hari besar Islam yang ditemukan saa ini aalah pakaian celana jeans yang robek, atau dengan pakaian yang kumuh tak bersih dan rapi sungguh sekarang kesederhanan itu mulai sirna. Wanita remaja mulai mengenakan pakaian yang ketat dan terkadang bagian baju yang sedikit terbuka dengan jilbab seadanya terikat mereka pergi menghadiri acara-acara kagamaan atau non keagamaan.
Masyarakat pinggiran kota Jambi juga terkena dampak dari perubahan tersebut, secara geografis masyarakat pinggiran kota seharusnya sebagai penyangga, namun dengan begitu besarnya pengaruh budaya kota sehingga dapat juga mengubah masyarakat pinggiran kota Jambi. Bahkan terkadang perubahan masyarakat pada pinggiran kota lebih dahulu mengalami perubahan di banding masyarakat perkotaan. Hal ini menarik untuk difahami lebih lanjut dan diteliti dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan.
Secara factual saat ini ketaatan masyarakat terhadap praktek keagamaan menjadi benang kusut, masyarakat lebih cenderung bersikap apatis terhadap kehidupan beragama mereka. Sehingga peneliti akan melihat perubahan kehidupan beragama masyarakat pinggiran kota Jambi.

Rabu, 17 Februari 2010

AGAMA DAN EKONOMI MOSLEM

Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.
Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial.
Agama biasanya meresepkan pengikut mereka untuk menampilkan perilaku yang berbeda dalam konsumsi, produksi, dan pertukaran. Terkenal adalah contoh umat Katolik tidak makan daging pada hari Jumat selama Prapaskah, Hindu menjadi vegetarian dan Muslim dan Yahudi menghindari daging babi, Muslim berdoa lima kali sehari, dan orang-orang Yahudi dan Kristen mengamati hari Sabat. Sebagai tema umum dalam contoh ini, individu diminta untuk berkomitmen pada sebuah pola perilaku dengan secara konsisten memilih salah satu tindakan terhadap para alternatif dan tidak menyimpang dari pola bahkan ketika keadaan (misalnya, harga, biaya, sumbangan) perubahan.
Meskipun beberapa pengikut agama tidak dapat mengamati perilaku yang ditentukan secara tegas dan mungkin ada beberapa nonreligius individu yang mungkin juga akan menampilkan pola yang sama, bahwa semua pengikut biasanya mengamati pola yang sama tetapi dengan berbagai tingkat kepatuhan tetap menunjukkan sumber perilaku komitmen yang berasal dari keyakinan agama.
Yang pertama adalah untuk melihat perilaku keagamaan sebagai sesuatu yang kurang rasional atau terang-terangan tidak rasional dan dengan demikian di luar domain ekonomi. Pendekatan alternatif yang baru-baru ini semakin populer telah memberikan penjelasan ekonomi sifat dan konsekuensi dari perilaku keagamaan.
Penjelasan ini biasanya menerapkan konsep dan model-model ekonomi dengan melihat orang-orang percaya sebagai konsumen rasional dan organisasi keagamaan sebagai klub atau perusahaan yang secara kolektif merupakan pasar agama.
Sisi penawaran faktor-faktor seperti perbedaan dalam kesempatan set, sisi permintaan faktor-faktor seperti preferensi yang berbeda dari orang-orang percaya, atau faktor-faktor sosial seperti rekan-tekanan telah diusulkan untuk menjelaskan berbagai cara yang berbeda behavior.1 Kami menganjurkan ketiga pendekatan umum dalam tulisan ini dengan meminjam pemahaman dari disiplin lain , terutama dari filsafat.
Mengidentifikasi kelemahan penjelasan ekonomi sebelumnya, kami menawarkan penjelasan alternatif yang mengandalkan diskusi filosofis pada konsep integritas. Kami menggunakan pengertian integritas didefinisikan sebagai identitas-berunding komitmen untuk mengembangkan suatu analisis ekonomi pilihan. Berfokus pada perilaku keagamaan, kita menggunakan analisis menunjukkan jalan pengaruh komitmen terhadap perilaku berbeda dari orang-orang preferensi dan tekanan sosial. Kami juga membahas perpanjangan dari argumen untuk isu-isu terkait seperti banyaknya dimensi identitas.
Tindakan ekonomi adalah setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling baik dan paling menguntungkan. misalnya: Ibu memasak dengan kayu bakar karena harga minyak tanah sangat mahal. Tindakan ekonomi terdiri atas dua aspek, yaitu :
Tindakan ekonomi Rasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan dan kenyataannya demikian.
Tindakan ekonomi Irrasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan namun kenyataannya tidak demikian.
Motif Ekonomi
Motif ekonomi adalah alasan ataupun tujuan seseorang sehingga seseorang itu melakukan tindakan ekonomi. Motif ekonomi terbagi dalam dua aspek:
Motif Intrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan tidakan ekonomi atas kemauan sendiri.
Motif ekstrinsik, disebut sebagi suatu keinginan untuk melakukan tidakan ekonomi atas dorongan orang lain.
Pada prakteknya terdapat beberapa macam motif ekonomi:
Motif memenuhi kebutuhan
Motif memperoleh keuntungan
Motif memperoleh penghargaan
Motif memperoleh kekuasaan
Motif sosial / menolong sesama
Prinsip Ekonomi
Prinsip ekonomi merupakan pedoman untuk melakukan tindakan ekonomi yang didalamnya terkandung asas dengan pengorbanan tertentu diperoleh hasil yang maksimal.
Banyak orang beranggapan bahwa agama hanya merupakan program-program yang kosong dan nilai-nilai akhlak semata, Ini adalah keyakinan klasik dan salah. Pada hakikatnya, agama adalah sistem dalam kehidupan dan pergaulan. Intinya ialah hubungan dengan Allah SWT. Oleh karena itu, usaha memisahkan antara problem-problem tauhid dan perilaku manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari berarti memisahkan agama dari kehi¬dupan dan mengubahnya menjadi adat-istiadat, tradis-tradisi, dan acara-acara ritual yang hampa.
Homo economicus, the Economic Man, represents a rational human being formalized in certain social science models, especially in economics, who acts in self-interest to achieve in a goal-oriented manner. As John Kay puts it, "He is self interested, materialistic, and obsessed with calculating his worth." In the world of economics textbooks, "... he is the mainstay of economic life." The edifice of modern economics is built on the foundation of Homo economicus, where the behavior of this creature is assumed to be ascertained in the positivist tradition of social science.

Manusia ekonomi yang direpresentasikan sebagai manusia yang rasional dalam model ilmu ekonomi, tindakan rasional manusia ini akan berujung pada kepentingan diri (self interest) untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Metode yang menonjol untuk mendefenisikan rasionalitas perilaku dalam teori ekonomi. Pertama, memandang rasionalitas sebagai konsistensi internal terhadap pilihan, dan yang kedua adalah mengindentifikasikan rasionalitas dengan maksimalisasi kepentingan diri.
Persoalan yang pertama, rasionalitas sebagai konsistensi personal yang menjadi disposisi dalam menentukan berbagai pilihan-pilhan ekonomi, dalam bahasa ekonomi di sebut dengan preferensi, lebih jauh pilihan-pilihan tersebut dapat difahami dalam kegiatan konsumsi. Manusia dalam memenuhi kebutuhan (need) dan keinginan (want) sebagai kebutuhan-kebutuhan pokok (dhorury) baik yang tahan lama (durabel good) atau pun barang yang lekas habis (undurabel good).
Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia memiliki dua metode rasionalis dan lainnnya memaximumkan kepentingan dirinya. Teks-teks pelajaran ekonomi memahaminya sebagai suatu Perilaku dalam konsumsi disebut perilaku konsumen (consumer behavior). Perilaku yang dimiliki manusia dipengaruhi pada disposisi, stimulus, ciri social, norma, system social, culture atau tradisi dan kepercayaan (belief) nya sehingga pemahaman terhadap agama tertentu juga ikut andil dalam tindakan rasional ekonomi manusia.
Analisis Weber tentang etika protestan dan spirit kapitalisme menjadi mitos tentang suatu system kepercayaan dapat mempengaruhi dan berhubungan terhadap perilaku seseorang . Walapun sebenarnya perilaku ekonomi tingkat individual, desa, regional, atau wilayah tertentu memiliki korelasi membingungkan. Sebab manusia dalam tingkatan tersebut masih dipengaruhi oleh perilaku budaya yang mereka temukan dari hasil interaksi terhadap pendahulu mereka.
Perilaku rasional dari term homo economicus ini factual dikalangan muslim, pengaruh pada nilai dari suatu barang. Rasional menyangkut persoalan rasio yang proporsional dalam tindakan konsumsi. Dyke memberi beberapa contoh manusia yang berperilaku rasional:
Pertama, manusia bertahan hidup dengan memenuhi kebutuhan pangan mereka. Namun makan terlalu banyak melebihi kebutuhan baik segi kualitas makanan maupun kuantitas makanan, apakah sesuai dengan tuntutan makanan tersebut? Tuntutan dari mana makan tersebut diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya?
Kedua,
The most important difference between Homo islamicus and Homo economicus is the assumption of altruism . As with other pre-capitalist systems, Islam is preoccupied with the welfare of a community where every individual behaves altruistically and according to religious norms.

Perbedaan yang paling penting antara homo islamicus dan economicus terletak pada bagaimana manusia berasumsi terhadap altruism. Berbeda dengan system kapitalis, Islam berfikir tentang kesejahteraan komunitas dimana setiap individu berperilaku dengan asas yang mengutamakan kepentingan orang lain dan tergantung pada norma agama.
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
Pertama, keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
Kedua,Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
Ketiga, Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265)