Sabtu, 27 Juli 2013

TUHAN DAN BENCANA REPLEKSI DAN RESPON TEOLOGIS MUSLIM TRADISIONALIS TERHADAP BENCANA BANJIR DI DESA SARANG BURUNG KABUPATEN MUARO JAMBI

Bencana alam yang terjadi di Indonesia sepanjang 2009 hingga 2010 didominasi akibat banjir dengan prosentase sebanyak 60 persen disusul oleh longsor, gempa bumi dan tsunami , Banjir merupakan peristiwa terbenamnya daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat Banjir dapat terjadi karena peluapan air yang berlebihan di suatu tempat akibat hujan besar, peluapan air sungai, atau pecahnya bendungan sungai. Di banyak daerah yang gersang di dunia, tanahnya mempunyai daya serapan air yang buruk, atau jumlah curah hujan melebihi kemampuan tanah untuk menyerap air. Ketika hujan turun, yang kadang terjadi adalah banjir secara tiba-tiba yang diakibatkan terisinya saluran air kering dengan air. Banjir semacam ini disebut banjir bandang . Kini Banjir tidak hanya menjadi langganan tahunan bagi masyarakat yang hidup di daerah aliran sungai batang hari, pada bulan januari banjir melanda Provinsi jambi dengan menengelamkan rumah sebanyak 5.864 rumah di Kota Jambi dan tergenang air akibat banjir yang melanda Kota Jambi selama dua pekan pada awal tahun 2010, terutama rumah warga yang berada di bantaran sungai Batanghari . Dari kenyataan di atas, maka jelaslah bahwa dalam tinjauan sosiologis, sejumlah bencana yang menimpa bangsa ini tidak bisa dipisahkan dari sikap serta tingkah laku individu-individu masyarakat negeri ini. Selagi individu-individu masyarakat negeri ini tidak mengubah sikap serta tingkah lakunya menuju arah yang lebih baik, maka sejumlah musibah lainnya siap menanti kita. Bukankah segala kerusakan di langit dan di bumi terjadi akibat kelalaian manusia itu sendiri? Sebuah refleksi cultural masa lalu, dimana Orang tua kita sering kali melarang dengan dogmatisasi ‘pamali’ melakukan aktivitas membawa dan mencuci peralatan dapur di sungai. Pesannya, bahwa “penjaga sungai akan marah bahkan bisa mencelakaimu”. Sepintas dengan nalar seorang anak yang masih kecil, mempercayainya dan ikut mewariskan pesan itu kepada generasinya. Ini merupakan cara moyang kita mengapresiasi dan menjaga kelestarian dan kelangsungan hidup ekosistem dan seluruh elemen yang berkepentingan pada sungai. Sisa makanan dan minuman yang melengket pada peralatan dapur dikhawatirkan dapat meracuni mahluk hidup di sungai dan akan mengotori kebersihan air sungai. Pesan tersebut seharusnya mensugesti cara pandang di masa kini, bahwa jika sisa makanan dan minuman saja tidak diperbolehkan mengotori sungai, seharusnya pembabatan hutan dan penumpukan sampah di hulu dan hilir tidak dilakukan. Karena secara perlahan tapi pasti dapat menimbulkan ketidak-seimbangan kehidupan manusia itu sendiri. Selain itu fungsi agama membantu manusia dalam kebingungan dunia dan menawarkan jawaban tentang berbagai permasalahan, juga memberikan kekuatan moral . Agama sebagai tempat pelibur lara dan tempat berkeluh kesah dalam kesulitan hidup. Sehingga dalam menghadapi Bencana agama menempatkan posisinya di garda depan, namun dalam kenyataan agama juga dijadikan sebagai alat kekuasaan untuk melegitimasi bahwa bencana adalah kehendak tuhan, sikap fatalistik yang kemudian digerakkan untuk menjustifikasi kebenaran yang subjektif kekuasaan. Dalam tinjauan teologis as’ariyah difahami selain Tuhan, semua sesuatu itu adalah mahluk. Bencana adalah mahluk Tuhan, sehingga amarah terhadap bencana indentik dengan menghindari kehendak dan kekuasaan Tuhan. Dalam pandangan sufistik, kehadiran musibah, penganiayaan atau kematian, justru disikapi dengan ungkapan alhamdulillah, dilanjutkan dengan innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Memuji kebesaran dan kekuasaan Tuhan atas segala sesuatu, bahwa DIAlah yang paling berhak atas semuanya ini. Segalanya dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Bersabar dan ikhlas menerima segala ketentuan Tuhan termasuk bencana, di sisi lain dianggap sebagai salah satu cara Tuhan meningkatkan dan mengangkat derajat kemanusiaan di hadapan Tuhan . Bahkan bencana atau musibah yang menimpa umat manusia adalah kehendak mutlak Tuhan, yang sering disebut dengan istilah takdir. Memang, kata ‘takdir’ seringkali diasosiasikan dengan nada sumir, pejoratif dengan konotasi negatif. Pada hakekatnya, harus disadari bahwa Tuhan tidak akan pernah berbuat aniaya terhadap hamba-Nya. Hal ini ditegaskan dalam sejumlah firman-Nya. Semua yang terjadi dan menimpa manusia merupakan akibat dari ulah manusia sendiri. Inilah yang kemudian disebut dengan ‘hukum alam’, atau dalam bahasa agama dikenal dengan istilah ‘sunnatullah’. Dan Tuhan hanya menjalankan hukum alam tersebut. Di sinilah, ada ruang ikhtiar (baca: usaha) manusia untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya suatu bencana . Tak dapat dipungkiri memang, Tuhan punya hukum-Nya sendiri. Tetapi, seperti ditegaskan dalam sejumlah referensi agama, manusia diberikan ruang gerak untuk mengubah kehidupannya. Untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, menghindari kemungkinan terjadinya bencana, dan mengantisipasi hal terburuk yang mungkin menimpanya. Dalam realitas sosial, munculnya sejumlah bencana tidak bisa dipisahkan dari sikap serta tingkah laku individu-individu dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, serangkaian bencana alam seperti banjir, tanah longsor, serta semburan lumpur panas, menunjukkan kecerobohan individu-individu terkait dalam serangkaian peristiwa tersebut. Sejarah perkembangan peradaban manusia pada mulanya memiliki sikap dan kepercayaan akan ketertundukan dan ketergantungannya pada alam. Para arkeolog dan filolog (peneliti teks-teks kuno) menunjukkan bahwa manusia sangat takut dan begitu memuliakan alam. Bahkan sebagian diantaranya rela dijadikan sebagai persembahan (dibunuh) dengan tujuan agar alam tidak marah dan kehidupannya tetap bisa berjalan normal. Ritual ini dilakukan ketika terjadi bencana seperti gunung meletus, banjir, hasil tanamannya rusak dan lain sebagainya. Sistem kepercayaan seperti ini disebut animisme atau dinamisme. Sebuah kepercayaan yang menjadikan unsur-unsur alam sebagai ‘Tuhan’. Seiring dengan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, peradaban kita terjebak pada cara pandang yang materialis pragmatis . Pada tataran tertentu bencana banjir yang telah seringkali menimpa provinisi jambi, dengan korban jiwa dan material yang tak terhitung jumlahnya, tidak selamanya harus diratapi apalagi menjadi manusia fatalistik, akan tetapi bencana banjir pun mampu menjadi media untuk meningkatkan proses pengenalan dan kesepahaman dengan Tuhan. Namun masalahnya, dampak yang ditimbulkan oleh bencana banjir, tidak serta merta selesai dengan sikap mengembalikannya pada Tuhan. Namun berlanjut pada sikap menggugat Tuhan atas bencana banjir yang mereka alami, varian teologis yang bagi amsyarakat pedesaan dan daerah aliran sungai yang secara budaya merupakan muslim tradisionalis dan mata pencaharian mereka bercocok tanam padi dan palawija di pinggrian sungai dan secara historis merupakan tradisi nenek moyang mereka. Lahan tersebut sebagai tanah wilayat yang turun temurun diwarisi oleh nenek moyang mereka. Melakukaknnya dengan bantuan irigasi sederhana dan sebahagian lagi adalah masyarakat yang membudidayakan ikan air tawar dengan media keramba terapung, jika saat banjir tiba keramba akan ditarik ke tepi secara bergotong royong dan jika air telah kembali normal mereka pun bersama-sama melaut keramba tersebut, hal ini yang sering kali meraka rasakan dalam setahun ini. Akibatnya Berbeda dengan kebanyakan faham teologi yang dianut oleh masyarakat muslim sunni, banjir seringkali terjadi dalam 2 tahun belakangan di kabupaten muaro Jambi, sehingga memberikan wacana tentang teologi yang berbeda, sikap non fatalitik muncul dan tidak dapat terbendung, ekpresi bencana banjir tersebut tidak hanya dipresentasikan melalui sikap namun juga telah mengarah pada ucapan-ucapan non fatalistic. Ucapan-ucapan non fatalistic tersebut merupakan respon teologis dalam memaknai Tuhan pemberi bencana, tanpa melihat siapa korbanya, sehingga menggugat sifat-sifat ketuhanan sebagai ekpresi kecewa terhadap bencana yang dtimpakan oleh Tuhan. Muaro Jambi secara historis adalah masyarakat melayu muslim yang menjunjung adat dan budaya, yang bercerminkan pada pepatah adat yang saat ini tetap diyakini dan diamalkan. Pepatah yang mengatakan adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitabullah, yang kemudian mengrepleksi respon teologis yang selama ini difahami dari kitabullah bahwa bencana adalah merupakan ujian, cobaan dan azab Tuhan kepada manusia yang ingkar.

Tidak ada komentar: