Rabu, 17 Februari 2010

AGAMA DAN EKONOMI MOSLEM

Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.
Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial.
Agama biasanya meresepkan pengikut mereka untuk menampilkan perilaku yang berbeda dalam konsumsi, produksi, dan pertukaran. Terkenal adalah contoh umat Katolik tidak makan daging pada hari Jumat selama Prapaskah, Hindu menjadi vegetarian dan Muslim dan Yahudi menghindari daging babi, Muslim berdoa lima kali sehari, dan orang-orang Yahudi dan Kristen mengamati hari Sabat. Sebagai tema umum dalam contoh ini, individu diminta untuk berkomitmen pada sebuah pola perilaku dengan secara konsisten memilih salah satu tindakan terhadap para alternatif dan tidak menyimpang dari pola bahkan ketika keadaan (misalnya, harga, biaya, sumbangan) perubahan.
Meskipun beberapa pengikut agama tidak dapat mengamati perilaku yang ditentukan secara tegas dan mungkin ada beberapa nonreligius individu yang mungkin juga akan menampilkan pola yang sama, bahwa semua pengikut biasanya mengamati pola yang sama tetapi dengan berbagai tingkat kepatuhan tetap menunjukkan sumber perilaku komitmen yang berasal dari keyakinan agama.
Yang pertama adalah untuk melihat perilaku keagamaan sebagai sesuatu yang kurang rasional atau terang-terangan tidak rasional dan dengan demikian di luar domain ekonomi. Pendekatan alternatif yang baru-baru ini semakin populer telah memberikan penjelasan ekonomi sifat dan konsekuensi dari perilaku keagamaan.
Penjelasan ini biasanya menerapkan konsep dan model-model ekonomi dengan melihat orang-orang percaya sebagai konsumen rasional dan organisasi keagamaan sebagai klub atau perusahaan yang secara kolektif merupakan pasar agama.
Sisi penawaran faktor-faktor seperti perbedaan dalam kesempatan set, sisi permintaan faktor-faktor seperti preferensi yang berbeda dari orang-orang percaya, atau faktor-faktor sosial seperti rekan-tekanan telah diusulkan untuk menjelaskan berbagai cara yang berbeda behavior.1 Kami menganjurkan ketiga pendekatan umum dalam tulisan ini dengan meminjam pemahaman dari disiplin lain , terutama dari filsafat.
Mengidentifikasi kelemahan penjelasan ekonomi sebelumnya, kami menawarkan penjelasan alternatif yang mengandalkan diskusi filosofis pada konsep integritas. Kami menggunakan pengertian integritas didefinisikan sebagai identitas-berunding komitmen untuk mengembangkan suatu analisis ekonomi pilihan. Berfokus pada perilaku keagamaan, kita menggunakan analisis menunjukkan jalan pengaruh komitmen terhadap perilaku berbeda dari orang-orang preferensi dan tekanan sosial. Kami juga membahas perpanjangan dari argumen untuk isu-isu terkait seperti banyaknya dimensi identitas.
Tindakan ekonomi adalah setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling baik dan paling menguntungkan. misalnya: Ibu memasak dengan kayu bakar karena harga minyak tanah sangat mahal. Tindakan ekonomi terdiri atas dua aspek, yaitu :
Tindakan ekonomi Rasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan dan kenyataannya demikian.
Tindakan ekonomi Irrasional, setiap usaha manusia yang dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan namun kenyataannya tidak demikian.
Motif Ekonomi
Motif ekonomi adalah alasan ataupun tujuan seseorang sehingga seseorang itu melakukan tindakan ekonomi. Motif ekonomi terbagi dalam dua aspek:
Motif Intrinsik, disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan tidakan ekonomi atas kemauan sendiri.
Motif ekstrinsik, disebut sebagi suatu keinginan untuk melakukan tidakan ekonomi atas dorongan orang lain.
Pada prakteknya terdapat beberapa macam motif ekonomi:
Motif memenuhi kebutuhan
Motif memperoleh keuntungan
Motif memperoleh penghargaan
Motif memperoleh kekuasaan
Motif sosial / menolong sesama
Prinsip Ekonomi
Prinsip ekonomi merupakan pedoman untuk melakukan tindakan ekonomi yang didalamnya terkandung asas dengan pengorbanan tertentu diperoleh hasil yang maksimal.
Banyak orang beranggapan bahwa agama hanya merupakan program-program yang kosong dan nilai-nilai akhlak semata, Ini adalah keyakinan klasik dan salah. Pada hakikatnya, agama adalah sistem dalam kehidupan dan pergaulan. Intinya ialah hubungan dengan Allah SWT. Oleh karena itu, usaha memisahkan antara problem-problem tauhid dan perilaku manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari berarti memisahkan agama dari kehi¬dupan dan mengubahnya menjadi adat-istiadat, tradis-tradisi, dan acara-acara ritual yang hampa.
Homo economicus, the Economic Man, represents a rational human being formalized in certain social science models, especially in economics, who acts in self-interest to achieve in a goal-oriented manner. As John Kay puts it, "He is self interested, materialistic, and obsessed with calculating his worth." In the world of economics textbooks, "... he is the mainstay of economic life." The edifice of modern economics is built on the foundation of Homo economicus, where the behavior of this creature is assumed to be ascertained in the positivist tradition of social science.

Manusia ekonomi yang direpresentasikan sebagai manusia yang rasional dalam model ilmu ekonomi, tindakan rasional manusia ini akan berujung pada kepentingan diri (self interest) untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Metode yang menonjol untuk mendefenisikan rasionalitas perilaku dalam teori ekonomi. Pertama, memandang rasionalitas sebagai konsistensi internal terhadap pilihan, dan yang kedua adalah mengindentifikasikan rasionalitas dengan maksimalisasi kepentingan diri.
Persoalan yang pertama, rasionalitas sebagai konsistensi personal yang menjadi disposisi dalam menentukan berbagai pilihan-pilhan ekonomi, dalam bahasa ekonomi di sebut dengan preferensi, lebih jauh pilihan-pilihan tersebut dapat difahami dalam kegiatan konsumsi. Manusia dalam memenuhi kebutuhan (need) dan keinginan (want) sebagai kebutuhan-kebutuhan pokok (dhorury) baik yang tahan lama (durabel good) atau pun barang yang lekas habis (undurabel good).
Dalam memenuhi kebutuhan tersebut manusia memiliki dua metode rasionalis dan lainnnya memaximumkan kepentingan dirinya. Teks-teks pelajaran ekonomi memahaminya sebagai suatu Perilaku dalam konsumsi disebut perilaku konsumen (consumer behavior). Perilaku yang dimiliki manusia dipengaruhi pada disposisi, stimulus, ciri social, norma, system social, culture atau tradisi dan kepercayaan (belief) nya sehingga pemahaman terhadap agama tertentu juga ikut andil dalam tindakan rasional ekonomi manusia.
Analisis Weber tentang etika protestan dan spirit kapitalisme menjadi mitos tentang suatu system kepercayaan dapat mempengaruhi dan berhubungan terhadap perilaku seseorang . Walapun sebenarnya perilaku ekonomi tingkat individual, desa, regional, atau wilayah tertentu memiliki korelasi membingungkan. Sebab manusia dalam tingkatan tersebut masih dipengaruhi oleh perilaku budaya yang mereka temukan dari hasil interaksi terhadap pendahulu mereka.
Perilaku rasional dari term homo economicus ini factual dikalangan muslim, pengaruh pada nilai dari suatu barang. Rasional menyangkut persoalan rasio yang proporsional dalam tindakan konsumsi. Dyke memberi beberapa contoh manusia yang berperilaku rasional:
Pertama, manusia bertahan hidup dengan memenuhi kebutuhan pangan mereka. Namun makan terlalu banyak melebihi kebutuhan baik segi kualitas makanan maupun kuantitas makanan, apakah sesuai dengan tuntutan makanan tersebut? Tuntutan dari mana makan tersebut diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya?
Kedua,
The most important difference between Homo islamicus and Homo economicus is the assumption of altruism . As with other pre-capitalist systems, Islam is preoccupied with the welfare of a community where every individual behaves altruistically and according to religious norms.

Perbedaan yang paling penting antara homo islamicus dan economicus terletak pada bagaimana manusia berasumsi terhadap altruism. Berbeda dengan system kapitalis, Islam berfikir tentang kesejahteraan komunitas dimana setiap individu berperilaku dengan asas yang mengutamakan kepentingan orang lain dan tergantung pada norma agama.
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
Pertama, keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
Kedua,Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
Ketiga, Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265)

Tidak ada komentar: