Jumat, 19 Februari 2010

Transformasi Keagamaaan

Agama pada hakikatnya merupakan pondasi dan tuntunan hidup (way of life) yang akan membawa manusia pada kehidupannya yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral yang terlihat dari perilaku kesehariannya. Beragama bukan berarti persoalan ritual, namun juga persoalan moral dan etika, karena perilaku manusia sering diasumsikan orang sebagai manifestasi pemahamam beragamanya, bila pemahaman beragama itu lemah atau kuat, maka akan berpengaruh pada praktek dan perilaku kesehariannya.
Suatu kenyataan bahwa agama merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam kehidupan manusia, baik secara individu maupun secara berkelompok. Agama dan manusia ibarat dua sisi dari satu mata uang logam yang sama. Dari perumpamaan itu dapatlah disimpulkan bahwa manusia haruslah selalu beragama, tanpa agama kehidupan manusia senantiasa labil.
Seperti dikutip oleh Dadang Kahmad, menurut Cicero pembuat hukum Romawi, agama ialah anutan yang menghubungkan antara manusia dengan Tuhan. Adapun menurut seorang filosof kritikus dari Jerman, Emmanuel Kant, mengatakan bahwa agama ialah perasaan tentang wajibnya melaksanakan perintah-perintah Tuhan.
Menurut Redfield, bahwa agama adalah pengarahan manusia agar tingkah lakuanya sesuai dengan perasaan tentang adanya hubungan antara jiwanya dengan jiwa yang tersembunyi, memiliki kekuasaan di atas dirinya dan di atas sekalian alam, sedangkan dia rela untuk berhubungan dengannya dengan cara seperti itu.
Para ahli sepakat bahwa penguasaan agama hanya didominasi oleh manusia. Hal ini karena agama merupakan salah satu aspek yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Disamping itu, hanya manusia yang diangggap mempunyai dua unsur kehidupan, yaitu rohani dan jasmani. Kebutuhan manusia tidak hanya bersifat material biologis saja, seperti makan-minum, menikah dan bertempat tinggal, tetapi juga pemenuhan kepuasan rohani, yaitu rasa bahagia, berbakti, dan berkreasi.
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supranatural) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama memiliki nilai-nilai bagi kehidupan manusia sebagai orang perorang maupun dalam hubungannya dengan kahidupan bermasyarakat. Selain itu agama juga memberi dampak bagi kehidupan sehari-hari.
Agama yang dianggap suatu jalan hidup bagi manusia (way of life) menuntun manusia agar hidupnya tidak kacau. Agama berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina hubungan dengan tuhan dan hubungan dengan sesama manusia dan dengan alam yang mengitarinya. Dengan kata lain, agama pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengatur untuk terwujudnya integritas hidup manusia dalam hubungan dengan Tuhan dan hubungannya dengan alam yang mengitarinya. Agama merupakan firman Tuhan yang diwahyukan kepada utusan-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia. Selaku titah dari Yang Mahakuasa yang terdapat di alam sana, wahyu diturunkan dalam makna yang paling tinggi, memakai simbol-simbol agung, dan manusia mencoba memahami dengan kadar kemampuannya yang sangat terbatas. Hakikat maksud firman itu hanya Tuhanlah yang tahu, sedangkan manusia hanya mencoba untuk mendekati kebenaran hakikat dari maksud keinginan tuhan tersebut.
Walaupun demikian pada sisi lain agama dalam struktur sosial yang banyak melahirkan kendala baik bagi kemajuan ekonomi seperti yang terjadi dewasa ini, yaitu struktur yang represif dan hanya melestarikan keterbelakangan, pandangan rasional tentang agama dengan berbagai kompleks transendentalnya, tidaklah menarik perhatian masyarakat, apa yang menarik bagi mereka dalam suasana keterbelakangan itu adalah agama kerakyatan dengan segala perangkat ritualnya. Agama adalah untuk melayani kebutuhan psikologis bagi kesengsaraan duniawi mereka.
Pengertian Agama yang demikian banyak ditemukan pada masyarakat pinggiran kota Jambi, agama menurut mereka adalah agama yang secara materi dapat menyelesaikan persoalan hidup yang mereka rasakan, tetapi juga dalam beberapa kesempatan penulis menemukan kelompok masyarakat yang memiliki pemahaman agama yang secara tradisi diwariskan oleh pendahulu mereka, pemahaman beragama yang telah membudaya ini membantu peneliti untuk melihat perubahan kehidupan beragama mereka.
Kedua, agama cenderung dianggap sebagai Ideology yang difahami sebagai agama acapkali adalah manifestasi dari sebuah ajaran nilai yang dijadikan landasan untuk melakukan perubahan di segala bidang. Tentu berbeda dalam kasus Islam, yang difahami orang-orang awam dengan yang difahami elitenya kontras karena pada pase ini agama sering dilakukan pengabsahkan pada setiap upaya pengkajian ulang ajaran-ajaran keagamaan yang diimani secara konsepsional. Karena tugas umat beragama di kemudian hari tinggal mengenali konsep-konsep tersebut menghapal sebisanya dan di atas segalanya adalah mengamalkan menurut tatacara yang diajarkan, tanpa melihat latar belakang historis dari suatu ajaran akan berakibat pada taklid buta dan menjadi kerangka yang kosong bahkan acap kali pemahaman yang dianggap benar itu menjadi sebuah ajaran yang “suci” dan tidak terbantahkan.
Dukheim mengambarkan agama adalah budaya, yang berarti agama merupakan kumpulan keyakinan yang menjadi warisan nenek moyang, hal itu berkaitan dengan perasaan-perasaan pribadi, sehingga sering kali terjadi mitasi terhadap modus-modus lama, bahkan agama-agama, ritual-ritual, aturan-aturan dan praktek-praktek yang secara sosial telah baku dan terus diwarisi oleh generasi selanjutnya.
Budaya dalam pengertian ini adalah ketidaksadaran kolektif dari suatu tradisi yang muncul, tumbuh dan terus diwarisi tanpa mengetahui akar historis dari suatu ajaran agama dan hakikat dasarnya pun akan hilang ditelan sejarah. Pemikiran ulama abad pertengahan bila tidak difahami secara kontektual akan mengakibatkan kesalahpahaman terhadap makna historis dari ajaran tersebut namun bila difahami konteks historisnya akan menemukan akar teologis yang akan melahirkan suatu penomena baru dalam pemahaman beragama saat ini.
Bila terus difahami ajaran-ajaran agama tersebut dalam konteks sekarang ini maka akan melahirkan sikap fanatisme, apatis, dan stagnan. Bahkan bila tidak direformulasi maka pemahaman agama tersebut bila dijalankan tidak memberi asar apa-apa karena penafsiran itu hanya bersifat seremonial saja dan jauh dari subtansi ajaran, karena suatu ajaran apalagi ajaran Islam harus menjadi rahmat bagi seluruh makhluk bumi, karena Islam adalah agama yang terakhir dan komprehensif tentu pemahaman beragamapun akan menyelesaikan banyak dari persoalan beragama di sinilah yang sering dikatakan dengan universalitas Islam.
Sehingga tidak menjadi kerangka yang kosong, apalagi agama hanya sekedar melengkapi status sosial seseorang saja yang sangat ironis adalah politisasi agama yang terus terjadi.
Pemahaman Umat terhadap agama adalah sebagai tempat pelibur lara, tempat berkeluh kesah dan dengan agama dapat menyelesaikan kompleknya permasalahan sehari-hari.
Sampai tahun 1990 masyarakat pinggiran kota Jambi memiliki kehidupan beragama yang religius, hampir tidak ditemukan kehidupan beragama yang tidak sesuai dengan ajaran agama, misalkan pada saat beduk magrib berbunyi umumnya masyarakat akan bersegera ke masjid, baik orang tua, pemuda dan bahkan anak-anak akan antusias melaksanakan sholat berjamaah di masjid.
Pada bulan romadhan, masyarakat akan antuisias melaksanakan sholat tarawih, tadarus al-Qur’an di Masjid dan bahkan setelah sahur mereka akan segera berbondong-bondong ke masjid untuk melaksanakan sholat shubuh berjamaah, dan terkadang setelah sholat shubuh ada pengajian tujuh menit oleh Imam masjid.
Pada acara walimahtul ‘urs masyarakat akan mengundang kelompoknya untuk bersama-sama membaca tahlil, barjanji dan hiburan dengan menampilkan tim rebana tetapi saat sekarang praktek kebudayaan keagamaan tersebut telah pudar dan terjadi secara signifikan perubahan dalam level pemahaman hingga level pengamalan, hal ini terjadi tidak hanya di ibukota kabupaten bahkan telah merambah pada kecamatan dan bahkan pada level desa.
Dalam hal pengamalan beragama masyarakat pinggiran kota pada 1980 hingga tahun 1990 seperti memakai sarung dan penutup kepala dengan pakaian yang sesuai dengan tertib penampilan yang Islami, tidak ditemukan ke acara-cara hari besar Islam yang ditemukan saa ini aalah pakaian celana jeans yang robek, atau dengan pakaian yang kumuh tak bersih dan rapi sungguh sekarang kesederhanan itu mulai sirna. Wanita remaja mulai mengenakan pakaian yang ketat dan terkadang bagian baju yang sedikit terbuka dengan jilbab seadanya terikat mereka pergi menghadiri acara-acara kagamaan atau non keagamaan.
Masyarakat pinggiran kota Jambi juga terkena dampak dari perubahan tersebut, secara geografis masyarakat pinggiran kota seharusnya sebagai penyangga, namun dengan begitu besarnya pengaruh budaya kota sehingga dapat juga mengubah masyarakat pinggiran kota Jambi. Bahkan terkadang perubahan masyarakat pada pinggiran kota lebih dahulu mengalami perubahan di banding masyarakat perkotaan. Hal ini menarik untuk difahami lebih lanjut dan diteliti dalam sebuah penelitian yang akan dilakukan.
Secara factual saat ini ketaatan masyarakat terhadap praktek keagamaan menjadi benang kusut, masyarakat lebih cenderung bersikap apatis terhadap kehidupan beragama mereka. Sehingga peneliti akan melihat perubahan kehidupan beragama masyarakat pinggiran kota Jambi.

Tidak ada komentar: